Sumber: greece.greekreporter.com
Konon, di abad 5-4 SM Sparta adalah salah satu polis kecil di Yunani yang terkenal kuat dan disegani. Mereka dikenal sebagai bangsa yang gemar perang. Ahli dalam membunuh. Dididik sepenuhnya dalam kedisplinan ekstrim sejak masa kanak-kanak. Karena itu, mereka tumbuh sebagai manusia pemberani, pekerja keras, rela berkorban bagi kepentingan polis, dan sifat patriotik lainnya. Tentu saja, jauh dari kenikmatan hidup bernuansa hedonis.
Bagaimana sifat dan etos itu bisa terbentuk? Jauh sebelum Yunani mengenal pendidikan secara masif, Sparta telah mengembangkan sistem pendidikan orisional bernama agógẽ yang mewajibkan semua warga mengikutinya. Seseorang hanya bisa diterima menjadi warga polis Sparta di usia 30 tahun apabila telah mengikuti keseluruhan tahapan dalam sistem itu. Dan, menjadi warga negara Sparta merupakan sebuah kebanggaan, simbol status kelas atas.
Lewat sistem agógẽ yang keras dan penuh disiplin, warga Sparta mewarisi sifat-sifat unggul, seperti: loyalitas mekanistik (kesetiaan buta pada sang pemimpin), ketahanan fisik, keterampilan perang, rasa memiliki polis yang tinggi, profesionalitas, keseragaman (uniformalitas), ketaatan pada hirarkhi, dan sejenisnya. Dengan kualitas-kualitas tersebut mudah diduga bahwa rakyat Sparta terbentuk dalam sebuah iklim yang diselimuti hawa meliteristik. Tetapi, justru disitulah Sparta menjadi polis unggul di masa itu.
Lalu, mengapa polis yang demikian terlatih, dan unggul dalam segala kepraktisan hidup, menjadi hancur hingga hilang dari jejak peradaban? Pada tahun 404, Sparta berhasil menaklukkan Athena. Sebelumnya, pasca kemenangan gemilang atas Persia tahun 479 SM, Athena mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang seni, arsitektur, sastra, ilmu pasti, dan filsafat. Juga menjadi kaya raya akibat penaklukannya itu karena dengan sendirinya menguasai banyak titik tumpu resources. Percaya diri berlebihan memekarkan nafsu ekspansi Athena sehingga menyerang dua sekutu dekat Sparta, yaitu kota Korinthos dan Thebes. Padahal kemenangannya atas Persia tahun 480 SM itu berkat peranan heroik prajurit Sparta, yang dikenal dalam sejarah sebagai pertempuran celah Thermopylae (the battle of Thermophylae), dimana 300 tentara infantri (hoplit) Sparta dibawah komando Leonidas, berhasil menahan laju 300.000 pasukan darat kavaleri Imperium Persia pimpinan “raja setengah dewa” Xerxes. Bayangkan, 300 menghadapi 300.000, dengan kata lain 1 prajurit Sparta berbanding 1000 prajurit Persia. Kisah yang mendekati mitos itu sangat menginspirasi sehingga pernah diangkat ke layar lebar tahun 1962 berjudul “300 Spartans.”' (Bisa dilihat di sini)
Kini, Sparta harus menghadapi Athena. Singkat cerita, Sparta dan sekutunya menaklukkan Athena. Sumber-sumber kekayaan Athena beralih milik ke Sparta, disamping menerima upeti (pajak) dari polis-polis hasil penaklukan. Keberlimpahanlah yang menjadi godaan terhebat yang membongkar dan merangsang sifat ketamakan manusia-manusia Sparta. Mereka teralihkan dari acuan moral tradisional bentukan agógẽ.Dengan kekayaan dan uang yang melimpah mengubah karakter dasar orang Sparta. Sistem distribusi yang pincang secara alamiah melahirkan kesenjangan dan ketidaksetaraan dalam pemilikan diantara warga Sparta. Inilah biang kerok yang menghancurkan sama sekali rantai kohesi sosial dan kesetiakawanan warga Sparta. Juga menguapkan kedisplinan dan loyalitasnya pada polis. Maka, keruntuhan dan kepunahan tak terhindarkan. Sparta, dan Yunani secara keseluruhan ditaklukkan dengan mudah oleh raja Philip II dari Makedonia. Philip II adalah ayah dari Alexander Agung (Alexander the Great), yang terkenal sebagai penakluk dunia itu.
Sparta tinggallah di tumpukan arsip-arsip sejarah, yang lembaran-lembaran buramnya baru diceritakan belakangan, terutama oleh dua filsuf kesohor Yunani sepanjang abad, Platon dan Aristoteles.
Marilah kita kembali ke kekinian. Ke tanah air. Ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)!
Partai Golkar di zaman keemasan menyandang nama istimewa sebagai “bukan Partai Politik,” meski menjalankan sepenuhnya fungsi partai politik. Dengan sebutan yang sengaja disamarkan itu Golkar mendapatkan berbagai keistimewaan yang tidak bisa diperoleh “partai politik biasa.”