Setelah Amien Rais menuntut penangkapan Ahok, kini Din Syamsuddin pun tak mau kalah. Rupanya Din yang selama ini mencoba membangun citra sebagai tokoh bijak dan pluralis tak bisa menahan diri untuk tetap berpura-pura. Dua tokoh penting Muhammadiyah dan MUI ini menyerang di titik yang sama, namun dengan tekanan yang berbeda. Amien mengancam akan memimpin rakyat pisah dari Indonesia, sementara Din mengancam akan memimpin perlawanan. Sebuah duet maut??!
Ancaman boleh berbeda, namun tuntutan sama. Soal ancaman, itu bisa diperdebatkan. Misalnya, rakyat mana yang akan dibawah Amien Rais pisah dari Indonesia? Pisahnya mau ke mana? Atau untuk Din, rakyat mana yang ia akan pimpin? Rakyat yang demo 411 itu (d-411)? Apakah dengan memimpin langsung akan lebih efektif daripada Habieb Rizieq? Atau signal bahwa Habieb dianggap gagal sebab d-411 tidak meraih target memaksa Presiden dan Kapolri menangkap Ahok? Atau, apakah ada harapan gerakan berbasis massa ini dipredikisi berhasil sehingga Din mencoba “mencuri” posisi agar punya kartu truf menjadi pemimpin di era baru? Juga, perlawanan terhadap siapa? Itulah sejumlah pertanyaan kritis yang perlu diajukan meski sulit memperoleh jawaban, kecuali langsung dari Amien, Din, Habieb, dan konco-konco mereka.
Kita fokus saja ke isi tuntutan Amien dan Din: “Ahok harus ditangkap!” Bagaimana proposisi konklutif ini dihasilkan? Di mana pijakannya?
Tuntutan menangkap Ahok jelas berpijak pada ontologi yang bersifat agamawi. Amien dan Din (bersama Habib Riziek, Fadli Zon, Fahri Hamzah, SBY, Hidayat Nur Wahid, dan lainnya) berada di pihak “Pengawal Fatwah MUI” yang dipertentangkan dengan KUHP sebagai representasi hukum nasional. Dalam alam berpikir keagamaan, fatwah MUI mungkin bermakna setara “keputusan pengadilan” yang harus langsung dieksekusi. Dan, merujuk omongan Tengku Zulkarnain (Wasekjen MUI) di ILC Episode “Setelah Ahok Minta Maaf,” tentang konsekuensi hukum agama, seperti pernah ditulis K’iers Daniel H.T (K-15.10.16) tentu saja kita merinding. Bagaimana pun, karena itu hukum agama yang mengikat secara internal tetaplah kita pahami.
Proses hukum menurut KUHP (hukum negara) bisa saja dianggap merendahkan derajad “fatwah MUI” yang diperlakukan “merepresentasi ke-Islam-an.” Saya buat diantara tanda kutip (“...”) karena jelas banyak tokoh Islam tidak mendukung cara berpikir tersebut, bahkan memberi kritik terhadap fatwah itu. Namun Amien, Din dkk seolah-olah memosisikan diri sebagai kebenaran itu sendiri dan bermain dari balik fatwah MUI, dengan mengabaikan kritikan para ulama berkharisma semacam Gus Mus atau KH Mustofa Bisri (Mantan Syuriah NU), Buya Syafei Ma’arif, Profesor Quraish Shihab, juga Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH.Nasaruddin Umar, dan lainnya.
Titik pijak hukum agama jelas berbeda dengan hukum nasional (negara), baik terkait sumber rujukan maupun kawasan (teritori) keberlakuannya atau obyek hukumnya. Produk hukum agama berlaku seluas komunitas penganut agama bersangkutan. Tidak di luar agama itu. Kalau seseorang dari luar mengganggu komunitas, katakanlah melecehkan sesuatu yang sangat dihargai komunitas, maka selayaknya ia diserahkan ke negara yang berwenang mengurusnya. Sama halnya dengan hukum adat yang berlaku hanya terbatas pada komunitas penganutnya. Maka, pelanggaran yang berada di luar komunitas adat dan agama hanya bisa diselesaikan oleh hukum negara. Dalam ruang politik negara, hukum negara memiliki otoritas tertinggi mengatasi semua hukum partikular-primordial.
Tuntutan Amien, Din, dkk jelas berpijak pada tesis negara agama. Memaksakan Ahok ditangkap tanpa mempedulikan proses yang sedang berlangsung di teritori hukum negara meggambarkan sebuah proyeksi dari ketinggian imajinasi akan berlaku mutlaknya hukum negara agama. Jauh lebih dalam dari itu, tuntutan itu seolah memperlakukan hukum negara sebagai sekadar “basa-basi,” yang bagaimanapun prosesnya tidaklah penting. Bagi kelompok penuntut, hasil akhir lebih penting, yaitu Ahok ditangkap.
Proposisi “Ahok menista agama” itu diperlakukan sebagai vonis berkekuatan hukum tetap. Karenanya, vonis agama ini dipaksakan menjadi keputusan hukum negara dimana Kapolri dan Presiden seolah dipaksa mengeksekusinya. Negara (yang direpresentasi oleh Presiden dan Kapolri) terkesan dituntut takluk pada otoritas penuntut. Disini, Amien dan Din bermain dalam obsesi negara agama, tanpa sadar mengabaikan fakta Indonesia sebagai bukan negara agama. Sebuah upaya penaklukan dengan cara halus, sejenis revolusi damai seperti sempat tercetus dalam d-411 yang berakhir rusuh itu?
Cara merayunya juga unik. Disebut unik karena lembut namun beraroma ancaman. Din mengatakan, “Pak Tito, kita bersahabat. Tetapi, kalau sampai lepas, saya memimpin perlawanan,” demikian ungkapnya dalam Pembukaan Rakernas MUI di Hotel Marcure Ancol, Rabu (23/11/16). Seperti dikutip Tempo, Din menyatakan keyakinannya bahwa Ahok menista agama. Rupanya, keyakinan Din inilah yang diposisikan sebagai “bukti kuat” yang dengan itu lalu memaksa Kapolri tidak melepaskan Ahok. Padahal, pernah dalam konferensi pers bersama tokoh-tokoh lintas agama (17/10/16) Din berujar:, “Dia sudah minta maaf, harus dimaafkan. Meminta maaf sudah sangat baik dan jangan sampai terulang.” (Sumber).
Berbeda lagi dengan Amien Rais. Bataranews melaporkan, Amien menyebut mengenal Jokowi sebagai teman baik. Tetapi, ia meminta Jokowi bertindak cepat (menangkap dan menahan Ahok). “Jangan sampai saya yang akan memimpin semua Rakyat Indonesia pisah dari Indonesia, bila Ahok tidak segera ditangkap,” ujarnya di sini.
Klop dan kompak! Dua tokoh yang tidak lagi muda ini menegaskan diri menjadi pemimpin; satunya memimpin perlawanan, satunya memimpin untuk pisah dari Indonesia. Seakan-akan berpacu merangsek masuk ke pusaran medan tempur. Din menyebut Jenderal Tito teman baik, Amien juga menyebut Presiden Jokowi teman baik. Berbagi tugas? Namun, teman tetap teman. Seolah-olah mereka hendak katakan, “kalau tidak mengikuti kemauan kami, kami memimpin perlawanan.” Sebagai tokoh politik, tokoh agama dan pejabat negara tentu kita tidak perlu ragukan pertemanan antara orang-orang besar ini. Tetapi, soal kualitas pertemanan tidak bisa dipastikan. Misalnya, kita tidak tahu seberapa baik pertemanan Amien Rais dan Presiden Joko Widodo, kecuali bahwa dalam awal kampanye Pilpres 2014 ia menjadi pendukung pasangan Prabowo-HR dan menggambarkan Pilpres (mengahadapi Jokowi-JK) sebagai perang badar. Apakah setelah Jokowi-JK resmi menjadi pemenang Pilpres, yang sempat diwarnai penolakan kubu Amien (KMP), dalam anggapannya perang badar masih berlangsung atau sudah selesai? Tidak ada yang tahu pasti, kecuali yang bersangkutan sendiri.