Pantai Nemberala di Rote sebagai surga wisata dunia tidak lagi asing. Khususnya bagi para peselancar dunia. Sebenarnya, disamping Nemberala, sekitar 2-3 km ke arah timur terdapat pantai Bo’a yang juga memiliki kualitas ombak yang sama menantang. Hanya saja Nemberala terlebih dahulu populer. Juga, infrastrukturnya lebih berkembang, terutama jalan, resor dan sejumlah villa berkelas.
Tetapi, sesungguhnya bukan hanya keindahan ombak saja yang layak dijadikan magnit bagi wisatawan. Untuk melihat kualitas ombaknya silahkan lihat video di bawah ini.
Dalam liburan keluarga akhir Januari 2017, kami diantar oleh ponakan saya Hanok Lusi, yang lahir, besar dan menetap di Busalangga yang jaraknya hanya puluhan menit ke Nembrala. Hanok adalah salah seorang cucu dari kakak ayah saya. Hanok memandu kami mengawali dari timur, yaitu pantai Oeseli. Pantai ini tenang, dikelilingi bebuktitan karang yang berdiri kokoh bagai benteng pelindung.
Dari celah-celah karang yang amat alot menyembul dedaunan rimbun hijau. Akarnya ulet menembus batu-batu alam yang keras. Musim hujan memungkinkan paduan dua kondisi kontras yang menciptakan ketakjuban tersendiri. Di musim panas, bukit-bukit cadas ini terlihat kusam, dingin dan membisu, dengan pepohonan yang cabang-cabangnya merana tanpa daun. Bagai kerangka tubuh mumi tanpa daging. Atau warna kekuningan yang menggambarkan kelayuan dan kerasnya perjuangan mendapatkan nutrisi untuk hidup. Di musim hujan tumbuhan-tumbuan itu seakan-akan merayakan kehidupan gemilang walau hanya dengan memungut “remah-remah nutrisi” tersisa dari celah cadas yang keras-kasar. Sepintas terkesan ganas tak kenal kompromi.
Ketika masih sekolah kami diajarin bahwa tanah tempat kami pijak hanyalah karang tandus dan kritis. Ketika kuliah saya mulai sadari bahwa informasi itu menyesatkan. Sumber utamanya mungkin dari pengunjung luar pulau yang terbiasa melihatnya pada musim kemarau. Tanah batu itu ternyata sangat subur, hanya kekurangan air.
Danau Oeseli lebih mirip “air laut yang terjebak” di sebuah lanskap. Airnya tenang bagaikan danau, namun terasa asin sebagai layaknya air laut. Istri saya dan Faith, anak kami, serta anak-anak yang ikut mengantar, tidak tahan diri untuk menceburkan diri ke dalamnya lantaran tergoda beningnya air, juga jernih dan tenang.
Sejumlah rumah sederhana beratap daun kelapa berdiri di pinggir pantai. Rupanya dibangun oleh penduduk setempat untuk menyimpan rumput laut hasil budidaya mereka. Ini menambah level eksotis dari pantai Oeseli. Terlihat pula kawanan sapi dan domba sedang menikmati rumput muda dan hijau di sekitar pantai, memberi kesan suasana pedesaan yang ramah dan damai. Juga, rumpun kelapa dengan buah rimbun dan daun-daunnya diacak angin menambah keindahan suasana khas pesedaan. Sebuah surga memenuhi imajinasi saya!
Entah berapa usia kerang ini? Ketika terdeteksi x-ray di bandara Eltari Kupang, kami diinformasikan jenis ini sudah langka dan terlarang dibawa keluar. Saya mengatakan bahwa ini hanya cangkang sebelah milik orang yang mau memberikannya kepada kami. Jadi, bukan kerang hidup, juga bukan lengkap. Tetapi, kalau memang terlarang ya kami relakan saja. Setelah dikonsultasikan, mungkin ke atasan, akhirnya petugas membolehkan kami membawanya. Yang paling bersyukur tentu istri saya.