Kata orang (terutama para politisi), politik itu seni mengola kemungkinan, the art of the possible. Itulah sebabnya, dirumuskan dalam berbagai frase, seperti “politik itu dinamis,” atau “politik itu cair.” Saking cair dan dinamisnya sehingga melahirkan para politisi yang tak punya prinsip, loncat sana loncat sini, licin seperti belut mandi oli, plin-plan, tak berkarakter dan doyan menghindari tanggungjawab. Miskin integritas!
Benarkah demikian? Kalau benar, maka politik bukanlah kepemimpinan. Dengan kata lain, politisi bukanlah pemimpin. Sebab, salah satu prasyarat utama kepemimpinan adalah kemampuan memberi kepastian. Itulah sebabnya pemimpin selalu berpijak pada nilai-nilai utama dan prinsip-prinsip yang tak tergoyahkan. Seperti bangunan yang didirikan di atas batu karang; teguh, kokoh meski bertubi-tubi dihantam badai dan puting beliung. Atas dasar prinsip para pemimpin melandaskan keputusan, tindakan-tindakan dan pertimbangan moralnya.
Disebut prinsip itu bukanlah bersifat personal-subyektif. Juga ekslusif pada sekelompok orang. Prinsip selalu merupakan nilai-nilai yang telah dijadikan pegangan bersama, atau memenuhi syarat-syarat universalitas-kemanusiaan sedemikian sehingga dipastikan tidak mendiskriminasi, tidak menabrak nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan.
Juga, mengandung aspek keadilan universal dan memancarkan cahaya adab kemanusiaan, dan sejenisnya. Dengan dasar prinsip-prinsip itu seorang pemimpin (yang baik atau pemimpin sejati) tidak akan tergoyahkan oleh kepentingan apa pun. Uang (korupsi dan suap), kuasa, kepentingan jangka pendek, kenikmatan sesaat, segemerlap dan se-sexi apa pun tidak akan menggoyahkannya.
Itulah yang dilakukan oleh para pemimpin sejati. Mereka membuat keputusan dengan pertimbangan matang. Didasarkan atas nilai-nilai utama atau prinisp yang jadi pegangan bersama. Lalu, mereka bertanggungjawab penuh atas keputusannya. Apa pun resikonya. Angela Markel, Rodrigo Duterte dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok termasuk diantara para pemimpin sejati itu.
Angela Merker, Kanselir Jerman, adalah tokoh sangat penting di Eropa. Bahkan, majalah Forbes menobatkannya sebagai wanita paling berpengaruh di dunia (Power Women). Paling sedikit tujuh kali dalam 10 tahun terakhir namanya bertengger di peringkat pertama. Merkel juga disebut sebagai “lokomotif” Uni Eropa yang memainkan peran menentukan.
Namun, di dalam negeri ia menghadapi tekanan internal. Akibat kebijakannya agar Jerman menampung 1 juta migran Timur Tengah, partai Uni Demokratik Kristen (CDU) yang dipimpinnya mengalami kekalahan beruntun di sejumlah negara bagian. Berbagai teror bom yang melanda dunia, khusunya Eropa, kita masih ingat misalnya di Paris dan Nice Perancis, mengakibatkan kebijakannya itu berdampak buruk bagi pemerintahannya. Lebih-lebih ketika dalam bulan Juli 2016 saja terjadi empat kali teror beruntun di negerinya sendiri dan pelakunya keturunan imigran. Partai-partai oposisi memanfaatkan berbagai tragedi teror tersebut sebagai bukti kuat untuk menyudutkan si “wanita kuat sedunia” ini.
Jelas di sini Merkel tidak kompromi dengan rakyat pemilih, maupun tekanan oposisi. Meski disajikan bukti teror beruntun yang ‘memojokkan kaum migran,’ serta ketidaknyamanan publik, bahkan korban dan kerugian langsung yang dialami rakyat, Merkel berdiri teguh diatas dua prinsip dasar; yaitu konstitusi partai dan konstitusi Jerman.
Demikian pula Rodrigo Duterte, presiden Filipina, yang baru dilantik bulan Juni 2016. Meski pemerintahannya baru seumur jagung, kehadirannya di panggung politik Filipina telah menggoncang nyali dunia, ketika baru dalam waktu tiga bulan pemerintahannya ia telah mengeksusi mati hampir 3000 pelaku kejahatan narkoba, mulai dari rakyat biasa hingga pejabat. Dunia dan Obama mengkritik keras, dan menuduhnya sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Bukannya takut, Duterte balik mengancam PBB dan Obama. Di forum Sidang PBB, menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay menyatakan Filipina tidak akan mundur. “Kami mendesak semua pihak agar membiarkan kami menghadapi tantangan dalam negeri untuk mencapai tujuan nasional kami, tanpa campur tangan yang tidak semestinya,” demikian Yasay (Kompas 26/9/16, hal.9). Selanjutnya, Yasay menjelaskan, “Filipina menghadapi persoalan serius terkait narkoba dan korupsi. Narkoba tidak hanya menghancurkan keluarga-keluarga di Filipina, tetapi juga menghancurkan masa depan rakyat Filipina.”
Duterte membawa titipan pesan keluarga dan para aktivis di negaranya agar meminta pengampunan kepada Presiden Joko Widodo bagi Mary, namun tidak dilakukannya. Sebuah bukti, betapa Duterte bekerja dengan berpatokan pada prinsip-prinsip yang kuat. Kejahatan adalah kejahatan. Tidak ada kompromi. Dan, saya menghayalkan kalau saja dalam menghadapi pelaku korupsi dan narkoba di Indonesia pemerintah juga bersikap setegas tuan Duterte.