DetikNews (18/9/16) melaporkan Silaturahmi Akbar yang dilaksanakan di Masjid Istiqlal Jakarta menghasilkan 9 poin risalah. Sejumlah poin penting intinya adalah menolak pemimpin non Muslim. Tokoh-tokoh penting yang hadir antara lain Amin Rais, Habib Riziek, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra dan lainnya.
Dari sembilan poin itu, setidaknya empat poin terkait dengan himbauan supaya memilih calon yang beragama Islam. Sementara lainnya berkaitan dengan himbauan untuk menggunakan hak pilih, serta himbauan kepada KPUD termasuk RT/RW agar mengawasi jalannya Pilkada sehingga terjamin berjalan jujur dan adil.
Poin terakhir mengimbau partai pengusung calon non muslim supaya mencabut dukungannya, dan bila tidak mengindahkan maka diserukan kepada umat untuk tidak memilih partai tersebut. Karena terkait Pilkada DKI, tentu himbauan itu ditujukan kepada partai Nasdem, Hanura, dan Golkar yang sejauh ini telah memberikan dukungan formal kepada Basuki Tjahja Purnama (Ahok) untuk maju di Pilkada 2017. Apabila PDIP dalam pertimbangan mengusung Ahok maka tentu saja himbauan tersebut juga menyasar PDIP. Soal, apakah himbauan itu akan mempengaruhi sikap PDIP terutama Megawati Soekarnoputri, itu hal lain.
Mengamati langkah Amin Rais dkk ini mengingatkan kita pada strategi “Poros Tengah” besutan Amin Rais, Yusril dan teman-temannya dalam pemilu 1999. Strategi super canggih itu berhasil menggagalkan Megawati Soekarnoputri yang memenangkan Pileg sehingga di atas kertas berhak atas kursi Presiden. Namun, begitulah kelihaian Amin Rais dkk. Dengan alasan yang “sangat Islami,” sebagai perempuan Megawati dianggap haram menjadi pemimpin. Lagu-lagu Islami disuarakan dalam forum persidangan DPR/MPR itu, dan suasana terasa menegang, cenderung mencekam.
Pada Pemilu 2004 raihan partai-partai Islam di Pileg meningkat menjadi sekitar 40%. Namun, belum ada figur yang cukup kuat untuk dimajukan di Pilpres. Semenjak 2004 raihan suara partai-partai Islam terus melorot.
Pada Pileg 2004 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi pemenang di DKI dengan perolehan suara sekitar 20% (13 kursi), namun dalam Pilkada DKI yang dilaksanakan 2007 calon yang diajukan PKS yaitu Adang-Dani kalah dari Fauzi-Prijanto yang diusung gabungan partai-partai nasionalis dan partai lainnya. PKS begitu percaya diri bergerak sendiri, mengira telah sepenuhnya menggenggam massa Islam di DKI.
Di Pilkada DKI 2012 kolaborasi partai Islam bersama Golkar, Demokrat dan lainnya mendukung Fauzi (Foke) berhadapan dengan Jokowi-Ahok yang diusung PDIP. Jokowi-Ahok menang telak. Kolaborasi besar ini masih solid dan terus terawat hingga Pilpres 2014 dengan mendukung Prabowo. Sekali lagi, kalah dari calon yang dimajukan PDIP yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Nasib partai besutan Amin Rais (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB) tidak mujur. Perolehan suaranya terus menurun. Bahkan, di Pemilu 2014 PBB terpaksa keluar dari arena karena tidak memenuhi syarat minimum perolehan suara (electoral treshold) yang ditetapkan 3,5%. Nasib yang sama, meskipun nampak sedikit lebih baik, dialami PKS dan PPP. Hanya PKB yang bertengger di urutan 5 partai perolehan suara terbanyak, sementara urutan pertama sampai keempat dikuasi partai nasionalis.
Amin Rais tentu berpikir keras. Di Pilpres 2014 dia telah bekerja keras mendukung Prabowo, dan ikut dalam pembentukan KMP, bahkan mengumumkan Pilpres sebagai perang badar. Mungkin, maksudnya supaya menyatukan pemilih muslim dalam satu kekuatan untuk memberi dukungan penuh kepada Prabowo. Namun, hasilnya Jokowi-JK memenangkan 'perang badar' di pilpres. Amin Rais sendiri sesumbar akan berjalan kaki dari Jogja ke Jakarta apabila Jokowi-JK yang menangi Pilpres. Hingga saat ini ia tidak merealisasikan janjinya.