Pasca merapatnya Ahok ke Golkar, atau tepatnya Golkar ke Ahok, semakin kuat terlihat kecenderungan Ahok akan maju ke Pilkada 2017 lewat jalur Partai Politik (Parpol). Resmi didukung oleh partai Golkar, yang menyusul Nasdem dan Hanura, Ahok telah memenuhi syarat legal-formal menjadi Cagub. Banyak pihak lalu menuduh Ahok tidak konsisten (antara lain Masinton Pasaribu), sebab ia telah berulangkali menegaskan akan maju lewat Jalur Perseorangan. Bahkan, lewat kerja keras TA telah terkumpul sekurangnya 1 juta dukungan. Parahnya lagi, para lawan Ahok, pendukung Asal Bukan Ahok (ABA), termasuk dari partai politik menjadikannya sebagai amunisi untuk menyerang Ahok, yaitu sebagai pemimpin yang tidak konsisten. Ini menjadi salahsatu diantara berbagai serangan bertubi-tubi namun gagal mengenai sasaran.
Benarkah demikian?
Saya berargumentasi bahwa Ahok adalah pemimpin yang konsiten. Serangan lawan-lawan politik Ahok laksana tembakan peluru gas yang hanya mengenai diri sendiri. Sebab, tindak tanduk kebanyakan politisi yang menyerang Ahok sendiri juga penuh dengan inkonsistensi!
Rasanya tidak perlu menyebut hasil kerja keras Ahok karena cukup mudah dilihat langsung, seperti taman-taman ibu kota, taman bermain, air sungai yang sudah bersih dan dijadikan tempat rekreasi masyarakat, masalah banjir yang sudah berkurang, pengadaan rusun bagi masyarakat berkemampuan ekonomi rendah (antara lain), penyediaan fasilitas bagi difabel, baik infrastruktur jalan maupun transport seperti bus, Kartu Jakarta Sehat, Jakarta Cerdas, dan sebagainya. Informasi detailnya juga mudah diperoleh lewat mbah google serta berbagai media lainnya. Program lainnya yang nampak realistis dan segera akan diraih lewat kepemimpin Ahok di DKI adalah, Rumah Sakit Kangker (bekas Sumber Waras), MRT, Reklamasi, dan sebagainya. Gambaran-gambaran keakanan itu terkesan nyata dan meyakinkan, selain karena didukung karaktar dan integritas Ahok, juga penjelasan verbal visi yang jelas, perencanaan diatas kertas yang matang. Salahsatu contoh adalah maket yang detail proyek simpang susun semanggi yang direncanakan akan selesai pertengahan 2017 (Sumber).
Etika politik menekankan pada tujuan, terutama tujuan yang baik. Tujuan baik, dalam politik adalah untuk membangun kepentingan bersama, kepentingan warga polis. Konsistensi pada tujuan yang baik ini merupakan harga mati. Pembelokkan tujuan bersama ke tujuan personal atau kelompok merupakan godaan erotis dalam permainan kekuasaan. Ini yang lazim terjadi. Dan, mudah mendapatkan bukti betapa sejumlah pemimpin politik sangat konsisten dalam hal ini. Jelas ini merupakan kejahatan, yaitu kejahatan terhadap kepentingan umum atau tujuan polis (kota/negara). Mereka patut menjadi musuh rakyat dan musuh negara.
Perubahan pilihan kendaraan politik dari “Bus umum Jalur Perseorangan” yang disediakan anak-anak muda TA ke “Sedan mercy” yang disiapkan partai Politik (dalam hal ini NASDEM, HANURA dan GOLKAR) merupakan bukti konsitensi Ahok yang tak tergoyahkan. Ia fokus pada tujuan, konsisten dalam tekad untuk mewujudkan membangun ibukota dan mensejahterakan masyarakat. Ia tidak tergoda, bahkan tidak terganggu oleh berbagai “kenakalan” yang bekerja rajin dengan membajak agama, HAM, kepentingan kelompok, dan sejenisnya, demi menghentikan langkah Ahok. Konsistensi Ahok selain mudah tervalidasi lewat hasil kerja riil, juga lewat kemampuannya memberi gambaran visual akan wajud masa depan Jakarta yang lebih mempesona dan berjaya.
Layaknya seseorang di Yogya, katakanlah Amien, yang memiliki impian besar ke ibukota Jakarta meski tidak punya uang sepeser pun. Namun, karena begitu kuat tekadnya, ia memutuskan akan berjalan kaki. Hal itu dikatakan ke teman-temannya, yang tentu saja mentertawakan kegilaan itu. Tak perduli dengan ejekan teman, ia akhirnya berjalan. Di tengah jalan, ia ditawarkan tumpangan free dengan bus, kereta api, atau bahkan pesawat. Akhirnya, ia bisa tiba di Jakarta dengan gembira. Apakah lantaran berganti kendaraan, Amien dianggap tidak konsisten? Dia justru konsisten, yaitu dalam tekad untuk tiba di Jakarta.
Dalam hal ini, Ahok hanya merubah cara untuk meraih tujuan. Cara itu halal, legal, konstitusional. Jadi, bukan sikap inkonsitensi. Justru kualitas kepemimpinan Ahok terlihat dari kemampuannya menyesuaikan cara dalam menghadapi situasi lapangan. Perubahan cara dan strategi itu dimaksudkan agar ia lebih efektif, juga mungkin lebih efisien meraih tujuan politik, yaitu meciptakan kebaikan umum itu.
Tuduhan inkonsistensi oleh lawan politik hanyalah bentuk kekecewaan dan kepanikan akibat perangkap yang mereka kerjakan susah payah bukanya menjerat Ahok, malahan kerap memakan teman sendiri. Bom mematikan berhululedak tinggi yang lewat kerja keras dan licik berhasil diselundupkan rapih dalam paket UU Pilkada hasil revisi, dengan niatan menghancurleburkan sama sekali bus Jalur Perseorangan yang diharapkan ditumpangi Ahok menjadi sia-sia. Laksana orang tua nakal yang tertangkap basah mencuri coklat anaknya, atau ketahuan mencium pembantunya, para lawan politik malu tetapi juga gusar dan marah bercampur dengki.