Fenomena Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama (Joko-Hok) membuka momen emas bagi Indonesia untuk merangsek maju ke tataran negara masa depan yang diperhitungkan. Perbaikan sistem dan iklim pembangunan yang sehat tidak saja mencuatkan harapan dan impian anak-anak bangsa, tetapi juga memaksa dunia menatap Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang nyata bangkit.
Sejak berpisah tugas, Joko Widodo mengurus Indonesia sebagai Presiden, dan (mantan) Wakilnya Ahok melanjutkan tugas Gubernur DKI, keduanya bekerja keras mengukir prestasi. Tak jarang mendapatkan decak kagum warga dunia. Meski tak sedikit gelombang fitnah dan dengki menghadang, mereka tetap melaju dengan kecepatan uniknya.
Tidak mengherankan kalau pada bulan Mei 2016 dalam Musrembangnas oleh Bappenas Ahok (Pemda DKI) memboyong empat pengharaan sekaligus, yaitu untuk kategori Provinsi dengan Perencanaan Terbaik, Provinsi dengan Perencanaan Inovatif, Provinsi dengan Perencanaan Progresif, serta Milenium Development Golas (MDGs) Tertinggi tahun 2015. Tentu bukan penghargaan yang dikejar karena penghargaan hanyalah akibat dari kerja keras dan kinerja yang teruji unggul.
Kita dapat menyebutkan beberapa di antaranya:
- Regulasi dan e-budgetingyang mendukung transparansi dan akuntabilitas pelayanan.
- Pembangunan Infrastruktur yang tersistem dan terencana baik
- Perbanyakan Ruang Publik, seperti taman kota, ruang terbuka, dan sebagainya yang mudah ditemukan di berbagai sudut kota.
- Rumah susun bagi Masyarakat pinggiran dan miskin
- Pembersihan sungai yang kontinyu dan terkontrol
- Pembentukan budaya kerja PNS berbasis kinerja
- Kemudahan akses pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin
- Sistem pelayanan cepat lewat SMS/WA dan laporan warga
- Bantuan untuk warga tak mampu
- Pelayanan terpadu dan terencana untuk semua kalangan, seperti lansia dan difabel (disable)
- Dan masih banyak lagi.
Fenomena Joko-Hok telah membuka mata masyarakat Indonesia. Mereka tersadar selama ini hanya dininabobokan dan dibius dengan hasil kosmetik citra dan janji-janji palsu para pemimpin. Pada setiap even politik Pilkada, Pileg dan Pilpres masyarakat diperlakukan seakan-akan raja, dimanja dan dilayani, dibagi-bagikan uang cash lewat program formal, maupun tidak formal lewat "operasi serangan fajar," salam tempel, pembagian sembako, baju kaos, hiburan cuma-cuma dengan mendatangkan artis, dan sejenisnya. Rakyat kemudian berbondong-bondong datang ke tempat-tempat pemungutan suara dalam sikap pasrah. Tanpa paham untuk apa menyoblos, akhirnya menuruti “godaan berkah” yang diberikan kepada mereka. Berdasarkan pengalaman puluhan tahun, rakyat terbiasa diberi cek kosong janji-janji. Siapa pun yang mereka pilih, kelak setelah terpilih hasilnya sama saja; hanya memperkaya diri dan kelompok, rakyat dapat ampas polusinya saja. Bosan mendengar janji, rakyat hilang harap, apatis, kemudian mengambil sikap realistis. Daripada tidak dapat apa-apa kenapa tidak memilih berdasarkan “kemampuan memberi” para kandidat? Tidak ada acuan standar terkait kualitas dan integritas untuk menjatuhkan pilihan. Belum pernah ada contoh.
Joko-Hok hadir dengan gaya yang berbeda. Mereka menjual rekam jejak sukses dan protofolio, menjaminkan integritas dan karakter. Masyarakat di Solo bahkan mengumpulkan dana untuk membantu pencalonan Jokowi di Pilgub DKI 2012. Ini sebuah contoh bahwa masyarakat haus prestasi, dan siap berkorban untuk pemimpin dalam kategori langka ini. Terkait pencalonan di Pilkada DKI 2017 nampaknya Ahok maju lebih berani lagi, yaitu meminta sumbangan dari pemilihnya. Ini meninggalkan gaya kampanye konvensional dari kandidat-kandidat penjual citra, yang hanya mengandalkan kontes kecantikan dan kegantengan dengan poster besar di baliho-baliho, pamflet, iklan media, “curahan karitatif atau obral kedermawanan dadakan,” dan sejenisnya. Sebaliknya, dengan menjual prestasi, Ahok menunjukkan bahwa ia bukanlah orang murahan. Ia pemimpin yang melayani, dan pelayan yang memimpin. Bukan slogan melainkan bukti.
Rakyat terkesima oleh gebrakan dan bukti kerja yang ditunjukkan. Seperti di alam mimpi. Namun, dalam keadaan sadar mereka melihat faktanya, lalu ber-selfie ria dengan latar taman kota yang indah dan bersih, air sungai yang mengalir lancar, anak-anak berenang dan bercanda ria di sungai. Tidak lagi berebutan naik bus, bahkan bisa duduk nyaman di bus ber-AC. Musim hujan tidak lagi jadi momok. Jakarta yang tanpa banjir di musim hujan, atau dengan volume air minimal yang sepenunnya terkendali. Sungguh bukan mimpi. Ini kenyataan kemajuan!
Kalau Yusril dan Haji Lulung bergerilya ke mana-mana, berusaha setengah memaksa para pimpinan parpol agar diusung di Pilkada, Ahok bahkan diperjuangkan oleh rakyat yang mengorganisir diri lewat Teman Ahok (TA). Yusril, Adiyaksa Daud, maupun H.Lulung mencoba menirunya dengan membentuk semacam “Sahabat Suka Lulung.” Sudah menjadi hukum alam bahwa barang imitasi selalu bisa terbukti luntur dengan sendirinya. Sebaliknya, TA yang terdiri dari anak-anak muda idealis itu sukses besar mengumpulkan lebih dari 1 juta KTP pendukung bagi Ahok. Sebuah angka yang pasti menggetarkan jiwa para pesaing, yang selalu mengklaim diri sebagai “pemilik mayoritas” namun ironisnya tidak mendapat dukungan sekadarnya untuk bisa lolos sebagai calon. Maski akhirnya Ahok memutuskan maju lewat jalur Parpol, loyalitas TA tetap tak goyah. Mereka mengambil posisi sebagai relawan yang tetap bekerja bagi pemenangan Ahok-Djarot.
Taman kota telah dirapihkan, tempat bermain ruang terbuka dibangun di sejumlah kelurahan, sungai-sungai mulai bersih dan menjadi tempat rekreasi kota, MRT dalam penyelesaian dan direncanakan beroperasi awal 2019, juga LRT ditergetkan beroperasi 2018. Masyarakat pinggiran yang biasanya tinggal di tempat-tempat kumuh bantaran sungai direlokasi ke rumah susun mewah, dengan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan transprotasi yang memadai dan terjamin. Sedemikian banyak hal-hal nyata ini direalisasi, baru dalam dua tahun atau katakanlah empat tahun sejak Joko-Hok dilantik sebagai Gubenur-Wakil Gubernur DKI tahun 2012.
Rasanya, tanpa kepemimpinan di DKI sekalipun, untuk satu sampai dua tahun ke depan, dengan asumsi apa yang telah dirintis dan sementara berjalan ini tetap berjalan dan tidak dirusak, wajah ibukota negara tetap akan terlihat cantik. Seakan-akan berubah dari wanita kejam berwajah sanger menjadi gadis lembut berwajah manis. Bayangkanlah MRT dan LRT selesai dan sudah beroperasi, bus-bus untuk difabel beroperasi, trotoar lebar untuk pejalan kaki yang nyaman dan aman, penduduk Kepualaun Seribu telah mandiri secara ekonomi dengan bisnis budidaya ikannya, dan sebagainya. Itu bisa terjamin karena yang dibangun adalah sistemnya.