Apa agama yang paling benar? Ini pertanyaan paling sensitif. Apalagi di Indonesia yang plural ini, jawaban atas pertanyaan macam ini bila tidak hati-hati dapat menimbulkan keresahan dan kerusuhan. Lebih-lebih dalam banyak hal akan mudah dikaitkan dengan berbagai kepentingan politik. Karena, isu-isu agama kerap berhimpitan dengan isu politik. Saling menunjang, saling menunggang!
Saya ingat ketika SMA pernah membaca sebuah buku, kalau tidak salah berjudul Kisah Klasik Jerman Sepanjang Masa. Merupakan kumpulan cerita menarik. Salah satunya sangat menginspirasi sehingga meski tidak ingat detailnya, saya masih hawal garis besarnya. Setelah “bertanya” pada mbah google, saya pun temukan sumbernya. Ternyata merupakan drama populer karya seorang penyair Jerman, Gothold Ephraim Lessing (1729-1781), yang aslinya berjudul Nathan der Weise. Diterjemahkan sebagai “Nathan si Bijak.”
Karena tidak mengingat detailnya, saya menceritakan dengan gaya bebas. Sangat mungkin ada improvisasi dan adabtasi terhadap kebutuhan konteks kita di Indonesia. Sebab, tujuan saya bukan sekadar menceritakan kembali, melainkan agar kita memiliki referensi bijak dalam menyikapi perbedaan agama-agama dan menyelami subtansinya. Bukan hanya mengapung di permukan simbol melainkan larut dalam keindahan moral dan kesakralan isinya.
Setting drama itu adalah di Yerusalem, pada masa Perang Salib Ketiga. Bisa dibayangkan bagaimana menyikapi dan menjawab pertanyaan, “mana agama yang paling benar” dalam situasi perang agama yang sedang berkecamuk? Apalagi, bila ditanyakan oleh seorang raja dan panglima perang kepada seorang yang beragama lain, katakanlah agama yang sedang diperanginya?
Demikianlah, khalifah Saladin atau Salahuddin yang menaklukkan Yerusalem dalam Perang Salib II, dan sukses mempertahankannya dalam Perang Salib III, mengajukan pertanyaan tersebut kepada Nathan, seorang Yahudi: “manakah dari ketiga agama Abrahamik yang paling benar”? Di depan Nathan tentu para pengawal dan pasukan perang yang masih mabuk bau mesiu dan darah para korban. Meski sang khalifah terkenal sangat disegani juga bijaksana. Maka, tidak mudah memberi jawaban dalam situasi sedemikian itu.
Nathan, si bijak lalu menjawab, “baiklah tuan, saya hanya bisa menjawab dengan sebuah cerita.”
“Alkisah di suatu zaman terdapat sebuah negeri yang terkenal kehidupan masayarakatnya penuh kedamaian, negeri sangat makmur hingga ke pelosok-pelosoknya, rakyat hidup bahagia, aman dan sentosa. Rajanya pun memerintah penuh wibawa, ditaati dan dicintai oleh rakyatnya. Suasana surgawi itu telah dialami turun temurun. Maka, banyaklah orang dari negeri tetangga, dekat dan jauh, datang berkunjung hendak mengungkap rahasia dibalik keadaan ideal itu.”
“Ternyata, kuncinya ada pada sebuah cincin ajaib yang dikenakan sang raja di jari manisnya. Siapapun yang mengenakan cincin kerajaan tersebut ia serta merta diberkahi kewibawaan, kebijaksanaan, sikap adil dan dicintai rakyat. Demikianlah, cincin itu biasa diwariskan dari sang raja, turun temurun kepada pengganti pewaris takhta yang direstui atau dipilih raja sebelum mangkat.”
“Tibalah suatu waktu, dimana sang raja memiliki tiga anak lelaki yang sama-sama dicintainya. Ketika usianya makin sepuh, dan pertanda kematian segera menjemputnya, ia menjadi risau. Sebab, ia belum bisa memutuskan siapa diantara ketiga pangeran yang akan diberikan cincin kerajaan sebagai penerus. Ketika si sulung berada bersamanya, ia menjanjikan akan mewariskan kerajaan kepadanya. Demikian pula anak nomor dua dan nomor tiga. Kini, ia telah mendapatkan firasat tidak akan berumur lama lagi. Tetapi belum juga memutuskan siapa yang akan meneruskan pemerintahan.”
Salahuddin rupanya tak sabar, lalu bertanya, “jadi, manakah yang asli dan benar?”