Kedua; pada Pasal 8 (butir f) disebutkan: "....terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan  berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa......."  Esensi pasal ini memang masih terkait dengan Masyarakat Pancasila.
Ketiga; Â Pasal 9 (butir c): "Terjamin kehidupan KEAGAMAAN dan kebudayaan. "
Keempat; Pasal 12 terkait ciri-ciri Manusia Pancasila, disebutkan setidaknya di dua butir, yaitu (3a): "beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa," Â dan butir (3d): ".......yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap sesama manusia dan kepada Tuhan Yang Maha Esa." Â Mana mungkin, komunisme mau bertakwa kepada TYME, dan bahkan bertanggungjawab kepada-Nya?
Kelima; Pasal 22 terkait Bab tentang "HIP sebagai Pedoman Pembangunan Nasional," dimana disebutkan salah satu bidang pembangunan nasional di butir (a), yaitu: "AGAMA, rohani dan kebudayaan."  Terdapat 20 bidang pembangunan nasional, dan AGAMA disebutkan paling pertama, yaitu di butir  (a) itu.
Keenam; Pasal 23 Â menyebutkan wujud Pembagunan Nasional bidang agama, yaitu di butir (a): "Pembinaan AGAMA, KEROHANIAN..............." dilanjutkan dengan butir (b) yang menjamin kebebasan warga memeluk dan beribadat menurut AGAMA dan KEPERCAYAANNYA." Selanjutnya, di butir (d) menetapkan pendidikan AGAMA sebagai mata ajar di kurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara butir (e) terkait rumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan. Sekali lagi pertanyaannya, bagaimana mungkin PKI membolehkan Agama dijadikan mata ajar wajib di lembaga-lembaga pendidikan? Â Membolehkan pembinaan agama dan kerohanian?
Berdasarkan keenam point di atas, yang secara ekplisit menghadirkan prinsip-prinsip Ketuhanan dan Keberagamaan, pertanyaannya, dimana letak indikasi adanya keterkaitan RUU HIP dengan PKI? Â
Bahkan, kalau dipelajari RUU HIP dengan lengkap, justru akan makin banyak ditemukan pasal-pasal lainnya yang secara implisit mengandung semangat keberagamaan dan keber-Tuhan-an.Â
Bukankah hal itu memang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia, bahkan menjadi praktek keseharian sejak nenek moyang kita, jauh sebelum masuknya penjajahan?Â
Itulah alasan yang memperkuat dugaan saya, bahwa dasar penolakan terhadap RUU HIP hanya karena membaca kavernya saja. Begitu tidak ditemukan TAP MPRS No.XXV langsung melompat ke kesimpulan, bahwa RUU HIP membuka ruang bagi bangkit kembalinya PKI.
Bukankah itu kesimpulan yang tidak sahih? Anjuran saya, bacalah lagi secara lengkap, setelah itu silahkan diskusikan di ruang-ruang publik. Temukan bukti-bukti dari pasal-pasal RUU HIP yang memiliki indikasi menopang tuduhannya. Itu jauh lebih intelek dan mendidik, daripada mengandalkan kekuatan massa dengan mengambil banyak risiko, padahal hanya lantaran sebuah kaver RU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H