Pendidikan dewasa ini terasa kehilangan substansi, kehilangan spirit idealnya, seolah-olah tersandera oleh kebutuhan-kebutuhan praktis. Dunia pendidikan berlomba menghasilkan para tukang yang akan dipekerjakan pada industri-industri. Link and match menjadi rumus mujarab kolaborasi dengan industri.Â
Ini sebuah perangkap yang meringkus kebebasan manusia. Akhirnya, dunia pendidikan tidaklah menghasilkan orang-orang bebas melainkan para kuli. Itulah sebabnya, mulai muncul gagasan untuk menghidupkan Liberal Arts. Â Â Â
Liberal Arts (LA) merupakan bentuk pendidikan ideal yang sangat tua. Lantaran idealnya itu para pengelola Pendidikan Tinggi suka mengaitkan institusinya dengan LA, kerap untuk mengkamulfase keterikatannya pada tugas meramu menu-menu spesial kurikulum untuk disuguhkan kepada "tuan pemilik kerja." Â
Bisa saja, merujuk visi misi agung instutusi LA memang sebagai spirit & fondasi spiritual dari lembaga-lembaga pendidikan itu. Namun, kendala praxis yang tak terhindarkan adalah darimana institusi mendapatkan dana (termasuk mahasiswa) bila tidak menjamin para lulusannya memperoleh pekerjaan?Â
Lebih-lebih lagi, pekerjaan bergengsi dengan prospek pendapatan besar? Inilah lingkaran tak berujung yang mengikat leher para pengelola institusi maupun "konsumen" pendidikan.
Di sini LA laksana pacar ideal yang dirindukan, namun apa lacur telah terikat perjodohan. Sebuah ironi bahwa pendidikan telah tdk bebas. Ia terjebak menjadi hamba yang selalu dalam upaya memikat hati tuannya: mempercantik diri, baik melalui kurikulum, silabus, strategi marketing, branding, dan sejenisnya.
Meski baru berkembang di abad Renaissance, LA sebenarnya 'tradisi pendidikan' Yunani-Romawi. Â Bahkan, di Yunani telah dimulai abad 8 SM. Dalam tradisi itu, pendidikan Artes Liberales, sebagaimana konsep itu diasalkan, merupakan pendidikan yang dilayakkan hanya bagi free persons.Â
Penekanan pada free person secara konteks supaya dibedakan dari para budak yang hidupnya se-mata-mata mengabdi total bagi tuannya. Karenanya, para budak hanya diajarin keterampilan  praktis (itu pun kalau dianggap perlu) terkait tugas-tugas pokoknya saja melayani tuan.  Sementara, orang-orang  merdeka perlu dipersiapkan dengan pendidikan karakter dan perlengkapan intelektual agar menjadi pemimpin yang berkontribusi bagi kemanusiaan & kehidupan.
Pendidikan Liberal Arts memiliki akar historis yang kuat tertanam di era Renaisance, sebuah massa dimana LA berkembang sangat pesat melalui sistem skolastik. Ketika itu muncul tokoh-tokoh yang karyanya banyak menginspirasi, bahkan menentukan arah kebudayaan dan peradaban di masa-masa selanjutnya. Sebut saja sejumlah nama berdasarkan bidang yang dikontribusikannya.
Bidang Seni dan Arsitektur memunculkan paling banyak tokoh terkenal, antara lain Raphael (Raffaello Sanzio), Leonardo da Vinci, Antonello da Messina, Giotto di Bondone, Sandro Botticelli, Donato Bramante, Andreas Vesalius, dan masih banyak lagi.Â
Pengarang/Sastra: Andrea Alciato, Torquato Tasso, dan William Shakespeare. Dari bidang Matematika lahir tokoh-tokoh kaliber seperti Isaac Newton, Petrus Apianus, Johannes Kepler, John Napier, William Oughtred, Luca Pacioli, dan lainnya.