Hingga tahun 1990-an, khususnya ketika rezim Orba Suharto masih berkuasa, siapa tidak kenal Arief Budiman? Ilmuan sosial yang pikiran-pikirannya selalu mememuhi media nasional, kritik-kritiknya yang tajam tanpa kenal takut kepada rezim otoriter. Dia  juga penggerak sosial dan aktifis lintas generasi yang rasanya tidak pernah lelah, juga tidak pernah tua.
Ia aktifis tulen. Pejuang demokrasi, kesetaraan, HAM, isu-isu keadilan, lingkungan hidup dan sejenisnya. Ia juga budayawan, kritikus, jurnalis, dan tentu saja ilmuan sosial. Rasanya banyak profesi bisa disandangkan padanya. Tetapi orangnya tetap saja bersahaja, tampil apa adanya.Â
Ia dikenal sebagai demonstran angkatan 1966 dalam pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru. Dengan demikian, ia berkontribusi dalam gerakan menjatuhkan Presiden Soekarno, sekaligus membidani lahirnya Orde baru.Â
Namun, ia menjadi pengkritik paling keras kepada Orde Baru sejak awalnya. Awal tahun 1970-an ketika jumlah Partai Politik disederhanakan, para 'penggerak sosial' ini sudah melihat adanya bahaya. Pengkebirian partai-partai politik itu dimaksudkan untuk menciptakan dominasi GOLKAR, partai rezim penguasa. Â Arief dan teman-temannya melawan dengan mengkampanyekan GOLPUT (Golongan Putih). Golput diperkenalkan sebagai bentuk pilihan untuk tidak ikut memilih ketika belajar dari Pemilu tahun 1971 Â yang telah selesai dianggap hanya sandiwara politik karena pemenangnya sudah diketahui sebelum Pemilu.
Arief Budiman telah menulis banyak buku. Â Antara lain: (1).Teori Pembanguna Dunia Ketiga, Â (2). Jalan Demokratis ke Sosialisme, (3). Kebebasan, Negara, Pembangunan, (4).Teori Negara, (5) Negara dan Pembangunan, (6) Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, (7) Distilasi: Teori dan Pengendalian Operasi. Â
Seingat saya, ketika berkunjung ke tempatnya April 2018, ketika itu bersama anggota Komnas HAM ibu Sandra Moniaga (dan suami), Pengacara Soar Siagian, serta  DR.Yusmich Foekh, SH.,MH (sekarang Hakim Konstitusi RI), istrinya ibu Leila Chairani menginformasikan akan me-lounching buku terbarunya Arif dalam waktu dekat.  Sayang, pada waktu yang di rencanakan itu saya sedang di Jayapura sehingga tidak menghadirinya.  Namun, saya kehilngan informasi tentang buku itu. Tapi, saya tidak ingat persis apakah itu lounching buku atau reuni.Â
Bukan hanya Arief, adiknya Soe Hoek Gie rasanya lebih dulu terkenal sebagai aktifis dan demontran  sejak mahasiswa. Tentang sepak terjang adiknya, sudah pernah dibukukan dengan judul "Catatan Harian Seorang Demonstran." Artinya, buku tersebut memang diambil dari catatan harisn Soe Hoek Gie, yang kemudian juga telah diangkat ke layar lebar dengan disutradarai Riri Reza (tahun 2005). Â
Budaya "mengirimkan pakaian dalam wanita" ke lembaga kemahasiswaan yang tidak mau turun ke jalan untuk bergerak bersama memprotes ketidakadilan rezim diawali Soek Hoek Gie. Setelah sukses menumbangkan Orla, banyak teman-teman aktifisnya masuk ke pemerintahan, ikut menikmati hasil perjuangan, tetapi lalu lupa diri dan kehilangan idealisme. Kepada mereka, Soe Hoek Gie mengirimkan pakaian dalam wanita. Adik Arief Budiman ini menjadi legendaris gerakan mahasiswa Indonesia, sampai akhirnya meninggal di puncak Mahameru ketika melakukan pendakian di gunung Semeru sebagai Mapala UI.
Kembali ke Arief Budiman. Â Ia berkesempatan melanjutkan studi doktoralnya di Harvard University bidang Sosiologi. Â Setelah menyandang Ph.D, ia kembali ke Indonesia dan mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Â Dalam pemilihan rektor UKSW tahun 1993 terjadi kemelut yang membelah dukungan, menyebabkan Arief Budiman dan sejumlah teman-teman lainnya berhenti mengajar. Arief kemudian hengkang ke Australia dan menjadi Profesor di Universitas Melbourne. Â
Rupanya ia sudah menderita sakit sejak masih di Australia, akhirnya pensiun dan kembali ke rumahnya di Salatiga. Di Salatiga Arief dan UKSW Â yang sempat bersebarangan itu kembali merekatkan hubungan persaudaraan. Rekonsiliasi diinisiasi pihak UKSW oleh Rektor dan Yayasan dan berjalan lancar, masa kelam dikubur dan dimulai dengan hubungan baru atas dasar kasih dan saling memaafkan.
Mungkin kritik-kritik Arief Budiman baru mulai jarang kedengaran setelah menderita parkinson belasan tahun terakhir? Namun, ia tetap dihormati oleh teman-teman seangkatannya, juga para aktifis muda yg banyak belajar darinya, baik secara langsung maupun tidak. UKSW dan Kota Salatiga pun boleh dikatakan makin dikenal di tingkat nasional maupun dunia oleh kehadiran Arief Budiman, melalui pikiran-pikiran dan kritik-kritiknya yg selalu menghiasi halaman depan (headline) media-media massa utama.Â