Covid-19 merupakan fenomena terbesar abad ini, yang mampu mengikat manusia dalam satu tatanan tindak. Ia memaksa manusia saling menjauh, mengunci mereka di rumah, menutup kantor-kantor, pusat bisnis, bandara, mal, cafe, bahkan rumah-rumah ibadat dan semua ruang publik yang menjadi aktifitas bersama.
Ia menyerang tepat di jantung zon politikon (makluk bersosial): mengurung, bahkan manyandera dan mencerai-beraikannya menjadi orang per orang yang dilepas-paksa dari komunitas. Inilah musuh terbesar yang pernah ada, Â menyerang sebuah species kehidupan bernama homo sapiens, yang menganggap diri istimewa dan unggul atas species lainnya.
Ini adalah perang Semesta, antara virus dan homo sapiens. Â Namun, dibalik perang selalu ada pembelajaran untuk dipetik, yaitu tentang wajah kemanusiaan kita.
Homo sapiens beruntung memiliki teknologi. Â Karenanya, ia sekaligus homo faber. Bayangkanlah bila serangan pandemi ini terjadi 20 atau 30-an tahun lalu, ketika internet belum masif digunakan. Dengan teknologi, manusia bisa mentransendensi diri melampaui tubuh fisiknya sehingga tetap bisa berhubungan lintas kurungan.
Juga, teknologi membantu menfasilitasi saling tukar ilmu, pengalaman dan sumberdaya lintas negara, lintas komunitas, antar pemerintah, Â antar ahli, Â bahkan anggota masyarakat saling belajar dalam mengantisipasi dan mengatasi virus mematikan tersebut.
Meski dikurung-pisah, manusia dengan difasilitasi teknologi dipersatukan oleh semangat bersama memerangi covid-19. Â Inilah pembelajaran terpenting: bahwa dihadapan ancamana kematian semua orang sama dan setara. Disini persaudaraan kemanusiaan disadari.
Covid-19 memaksa  tim medis China, begitu menyelesaikan tugas di Wuhan tergesa-gesa  terbang ke Itali dan Iran membantu dan mengembangkan semangat saling menolong demi kemanusiaan. Korea Selatan dan Cina mengulurkan tangan membantu Indonesia, Amerika dan Uni Eropa. Atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan pula tim medis dan relawan Israel dan Palestina melupakan permusahan abadinya, lalu bahu membahu berbagi tip dan resources.Â
Bahkan, Donald Trump yang awalnya terkesan arogan 'mentertawakan' China sebagai musuh bebuyutan yang terserang virus, setelah kawalahan akhirnya menyeru meminta bantuan seakan seorang saudara. Presiden Trump dipaksa menahan malu menanggalkan gengsi dan menyebut Xi Jinping sebagai saudara yang terhormat!
Secara politik, Covid-19 memaksakan restrukturisasi anggaran nasional di berbagai negara.  Ia menuntut kemanusiaan diprioritaskan, sementara pembiayaan untuk berbagai proyek megah yang menyimbolkan kehebatan manusia ditunda. Sesuatu yang bahkan di parlemen yang sangat powerful dikuasai oposisi pun tidak mudah memaksa pihak eksekutif buat perubahan seketika. Bantuan untuk warga yang rentan disiapkan, subsidi bagi warga miskin, penundaan dan pemotongan cicilan pinjaman bank, ragam  "paket kemanusiaan dan keadilan sosial lainnya" digandakan. Arogansi tingkat capaian ekonomi, prestasi pemerintah,  keunggulan ideologi, dan semua atribut-atribut simbolik prestasi dan kuasa manusia diluluh-lantakkan sampai ke dasar.
Di  dalam negeri, para pengusaha berbagi dari keuntungan perusahaan.  Mereka harus  menggelontorkan ratusan juta, bahkan miliaran rupiah demi membantu pemerintah dan tim medis.  Para artis dan figur-figur publik menunjukkan empati, meluaskan ruas emansipasi untuk berbagi materi dan fasilitas medis. Warga dipaksa tenang dan tertib mempedomani protokal pemerintah.
Memang, ada pula sekelompok orang yang seakan hanya duduk di kursi malas di ketinggian sambil meneriaki pemerintah dan tim medis serta relawan yang sedang pontang-panting saling membahu membantu para korban dan menahan perluasan serangan virus. Kaum berisik ini seolah mengambil posisi sebagai suporter virus corona, tetapi mereka pasti tidak tahu apa yang mereka lakukan.