Kamis, 21 Desember 2017 partai Golkar resmi mencalonkan Dedi Mulyadi (DM) sebagai cagub/cawagub Jawa Barat dalam pilkada 2018. Â Keputusan ini diambil hanya beberapa hari setelah Golkar resmi mencabut dukungan yang sebelumnya diberikan kepada Walikota Bandung, Ridwan Kamil (RK). Saya berpendapat, bahwa dukungan Golkar ke DM merupakan pilihan paling tepat.Â
Berpendapat demikian tidaklah berarti saya mengabaikan, apalagi meremehkan RK (Kang Emil). Penilaian saya lebih didasarkan pada tuntutan tanggungjawab pengkaderan parpol. Â
Saatnya parpol belajar untuk menciptakan kader dan memprioritaskannya. Para kader, khususnya kader daerah telah berjuang tanpa pamrih, terkadang memberikan pengorbanan terlalu besar lantaran harus membela parpol, yang kerap membuat keputusan atau memproduksi wacana yang melukai masyarakat di daerah.Â
Mereka laksana jongos yang terpaksa membersihkan noda atau kotoran 'di toilet' yang dibuang secara serampangan oleh para elit parpol di Jakarta. Mereka berjuang 'berdarah-darah' untuk membangun citra baik parpol, hingga akhirnya bisa mendulang suara dan menempatkan wakil (parpol) menduduki kursi-kursi empuk di DPR maupun DPRD. Â
Di tengah buramnya citra parpol di mata publik, perjuangan kader daerah mendapatkan voter (pemilih) bukanlah hal mudah. Merekalah ujung tombak partai dalam membentuk dan merawat citra, terutama mendulang suara.Â
Buruknya citra parpol terbukti di pilkada-pilkada para kandidat yang berasal dari parpol, bila tidak didukung kerja keras bahkan kerja habis-habisan (dalam pengertian yang cenderung negatif) akan sulit dilirik pemilih. Dengan citra buruk para kandidat internal seakan terlihat sebagai tikus sawah yang mencalonkan diri memanen padi.
Menghadapi situasi lapangan macam itu parpol-parpol menjadi pargmatis lalu mengusung tokoh popular non partai seperti seniman, termasuk komedian, pengacara, pengusaha, dan sejenisnya.Â
Prinsipnya, asalkan popular di mata masyarakat sehingga punya daya keterpililihan (elektabilitas) tinggi. Atau memiliki dana berlimpah sehingga mampu membiayai operasi-plastik parpol agar borok-boroknya terlihat mulus dan fotogenik. Soal kompetensi dan pengalaman kepemimimpinan jauh dari pertimbangan.
Sejauh ini banyak parpol tidak punya calon kredibel dan dipercayai masyarakat. Atau, kalaupun punya masih bisa dihitung dengan jari-jari sebelah tangan. Soal popular mungkin banyak. Tetapi kompeten dan punya integritas, itu yang masih langka. Karena itu, Golkar seharusnya bersyukur memiliki kader sebagus DM.Â
Ia tidak saja berprestasi membangun Purwakarta melainkan juga berintegritas dan menjadi idola masyarakat, Â terbukti dengan telah dua periode dipilih menjadi bupati. Ia juga sukses memimpin Golkar di Jawa Barat, terbukti bisa menempatkan 17 wakil di DPR Provinsi dan membawa Golkar menjadi pendulang suara terbanyak urutan dua setelah PDIP dalam Pileg 2014.Â
Dibanding mengusung kader non partai, dengan mendukung DM pemilih Golkar 2014 akan cenderung solid sehingga bisa mengangkat citra Gokar dalam pileg 2019. Bila tetap ngotot mengsung RK sangat mungkin kepercayaan masyatakat terhadap Golkar makin anjlok.Â
Penyebabnya bukan faktor RK, melainkan Golkar yang akan dilihat sebagai partai tidak profesional dan sewenang-wenang karena dengan mudah membuang kadernya yang telah berjuang bagi partai dan berhasil membangun masyarakat. Golkar akan dipersepsikan masyarakat sebagai pelaku menzoliman terhadap DM, dan seperti diketahui masyarakat kita sangat sensitif terhadap tindak menzolimi.
Seperti Jokowi maupun Ahok yang terlebih dahulu sukses membangun kota Solo dan Belitung Timur, sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI, demikian pula Dedi Mulyadi telah sukses membangun Purwakarta. Dua kali memenangkan pilkada sebagai bukti autentik pengakuan publik atas prestasi dan kerja kerasnya.
Lalu, bagaimana dengan Ridwan Kamil? Menurut saya, bagi parpol-parpol yang belum punya calon internal akan sangat beruntung mencalonkan Ridwan Kamil. Kang Emil sudah punya nama di hati masyarakat Jawa Barat, juga punya prestasi membangun kota Bandung.Â
Tingkat elektabilitas sebagaimana dilansir sejumlah lembaga survei sejak Juni 2017 (Poltracking Indonesia) dan terakhir November (Indo Barometer) menempatkan kang Emil di puncak survei, diikuti Dedi Mulyadi. Kang Emil juga merupakan tokoh yang bisa dianggap mewakili ideologi nasionalis, sehingga membutuhkan wakil dari kalangan Islam. Di sini para partai pendukung bisa berembuk untuk mengajukan cawagub dari internal yang memenuhi syarat sesuai kebutuhan.
Baik DM maupun RK merupakan kader-kader bangsa yang telah terbukti kaya prestasi dan dipercaya masyarakat. Golkar sudah pada posisi tepat mengusung kadernya sendiri di Pilkada Jabar 2018, sementara RK dengan reputasinya akan mudah diusung parpol-parpol lain, menyusul Nasdem dan PPP yang telah lama menyatakan mendukungnya. Partai pendukung akan diuntungkan karena figur Kang Emil akan mampu mendongkrak keterpilihan partai di Pileg 2019.
Tetapi, prinsipnya akan merupakan sebuah pembelajaran berharga bila parpol-parpol mulai serius menciptakan kader-kader kompeten dan memprioritaskan mereka menjadi pemimpin-pemimpin di daerah maupun di level nasional.Â
Sekolah-sekolah kader yang sudah diadakan oleh sejumlah parpol merupakan langkah maju. Namun, sekolah yang paling efektif adalah di tengah masyarakat, yaitu dengan menjadi pemimpin yang peduli, jujur, bekerja keras, dan menunjukkan keseriusan melayani masyarakat. Dedi Mulyadi, seperti halnya Jokowi, Ahok, Risma, Djarot, Nurdin Abdullah, dan lainnya, telah membuktikan diri 'lulus' bukan dari sekolah parpol, melainkan sekolah masyarakat.Â
Karena itu, Golkar patut berbangga mengusung kader internal seperti DM yang memiliki banyak kriteria kepantasan dan kelayakan menjadi Gubernur di Jawa Barat. Dan, keputusan Golkar itu sudah sangat tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H