Yang saya tangkap sebagai pesan HUT Kemerdekaan NKRI ke 72 adalah mempertegas persatuan dan persaudaraan kebangsaan kita. Bahwa bangsa Indonesia adalah milik sah setiap warga negara, apa pun suku, ras, agama, warna kulitnya. Â Dan, karenanya keberagaman itu merupakan kekuatan dan potensi bangsa yang harus dirawat.
Pesan itu sangat kuat terpatri lewat kemeriahan pakaian-pakaian yang dikenakan Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara lainnya. Warna warni dan model pakaian adat menggambarkan kedaulatan sebagai bangsa beragam, namun diikat dalam satu kesatuan kebangsaan. Sebuah gambaran transparan dan tegas tentang ke-bineka tunggalika-an kita!
Ketika dalam pidato kenegaraan maupun pidato tahunan dihadapan sidang MPR Â Presiden menyapa masyarakat dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai di pulau Rote, ia sesungguhnya makin mempertegas hakikat persatuan dan persaudaraan kebangsaan itu. Â Secara emosional Presiden lebih dalam menyentuh hati rakyat ketika menyapa dengan bahasa-bahasa lokal. "Salamu'alaikum, Kruen Semangat," demikian ia menggunakan bahasa Sabang. Ruang sidang riuh oleh keriangan dan tepuk tangan hadirin. Presiden melanjutkan dengan sapaan dalam bahasa lainnya, Â "Namek-namuk, Izakod bekai izakod bekai" (satu hati satu tujuan/Merauke), lalu, "Ita esa," (Kita adalah satu kesatuan/Rote), dan "Tabae, Â sansopte sang patepate" (Miangas).Â
Kurang lebih 495 Km dari tempat Presiden Jokowi menyampaikan pidatonya, gaung pesan itu sampai juga di Pulutan Salatiga. Meski tidak berpakaian adat warna warni, di malam Tirakatan itu KH Muh.Syafi'i membuka sambutan dengan pekik Merdeka. Sesepuh yang berkarisma itu mengajak warga Paguyuban Perum Harapan Indah itu mengikutinya mensorakkan pekik Merdeka tiga kali. Kami, para hadirin, baik warga paguyuban, mulai anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak maupun undangan tetangga sekitar tak kalah semangat mngikutinya.
Pertama; Banyak pahlawan kemerdekaan yang telah berkorban demi kemerdekaan NKRI. Para pahlawan itu tidak hanya berasal dari satu suku atau satu agama saja, melainkan semua agama, dan berjuang tidak hanya untuk kampungnya saja. Sebut saja, Pangeran Dipeonegoro yang berasal dari Jawa namun meninggal di Makasar. Imam Bonjol juga pejuang yang juga ulama, karena perjuangannya meninggal jauh dari kampungnya di Jawa, yaitu Manado. Â Ada juga Wolter Monginsidi yang berasal dari Manado namun ikut berjuang di Makasar. Patimura atau Thomas Matulessy dan Martha Christina Tiahawu yang merupakan pahlawan Maluku.
Ketiga; Kita menentang para intoleran, menentang garis keras, menentang terorisme. Kehidupan yang toleran dalam persatuan yaang akrab akan membantu menangkal bekembangnya para intoleran di daerah kita.