Sesuai dengan jadwal Pilkada tanggal 11 Februari 2017 merupakan kampanye penutupan. Mulai tanggal 12 paslon segera memasuki masa tenang, yang dimaksudkan sebagai masa kontemplasi dan perenungan bagi pemilih untuk lebih memastikan pilihan. Para pemilih memikul tanggungjawab besar untuk menentukan masa depan daerah tempatnya memilih. Melalui pilihan merekalah, daerah bahkan negara akan meluncur maju ke dapan atau stagnan bahkan mundur. Itulah sebabnya, sebelum hari H, ada jedah beberapa hari untuk memantapkan pilihan. Sementara, bagi para paslon mengkonsolidasi persiapan teknis untuk saksi-saksi di TPS, pengawasan, dan siaga untuk memantau berbagai tindak kecurangan agar bisa didokumentasikan dan dilaporkan,
Demikian pula, Pilkada DKI yang memiliki dinamika dan tensi amat tinggi. Tak berlebihan kalau disebut sebagai pilkada berasa pilpres. Terbukti, selain menyedot perhatian pengamat, politisi, komentator, maupun masyarakat umum dari berbagai daerah, juga menjadi arena perang bintang “para suhu politik negeri” selevel Megawati Soekarnoputri, Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subiyanto. Pun, anggota DPR sejak awal sudah terlibat. Sebut saja Fadli Zon, Fahri Hamzah, Luhut Sitompul, dsb
Di injuri time, paslon 1 dan 3 mendapatkan sumbangan amunisi potensil untuk mengakhiri masa kampanye gemilang. Kedua paslon yang didukung arus besar partai-partai Islam, terutama Islam garis keras, akan sangat diuntungkan dengan adanya Aksi 11 Februari (A-112).
Forum Umat Islam (FUI) yang menjadi inisiator kegiatan ini mengusung tema tegas, yaitu “menggelorakan penerapan Almaidah 51.” News.detik.com mengutip Sekjen FUI, Muhammad Al Khaththath: "Mengingat suhu politik yang meninggi, ada dua pasangan calon yang mengadakan aksi kampanye terakhir, maka kami setelah bermusyawarah memutuskan untuk menggelar menjadi zikir dan tausiah nasional penerapan Al-Maidah 51, wajib memilih pemimpin muslim dan haram memilih pemimpin kafir" (diunduh 9/1/17). Meski akhirnya, aksi yang awalnya direncanakan turun ke jalan beralih menjadi kegiatan keagamaan di masjid Istiqlal, substansi yang mengemuka tidak jauh berbeda dari rencana awal. Mungkin hanya tak vulgar untuk memastikan nuansa politiknya tidak menyolok sebagaimana telah disepakati bersama aparat kepolisian.
Melalui doa yang dipimpin oleh KH Arifin Ilham, permohonan yang dipanjatkan ke Tuhan adalah, pertama, agar DKI tidak lagi memiliki pemimpin seperti saat ini, karenanya harapannya agar terpilih diantara AHY-Sylvi atau Anies-Sandi. Poin ini sinkron dengan clossing statement kedua paslon pada seri debat terakhir 10 Februari malam, yang intinya menegaskan (dalam ungkapan optimistiknya Anies Baswedan) bahwa “mayoritas masyarakat DKI menginginkan gubernur baru.” Kedua; memohon agar supaya Ahok mendapat hidayah (Sumber).
Kedua Paslon, yaitu Agus, Anies dan Sandi tentu tidak sia-siakan kesempatan ini. Ketiganya terlihat duduk berdampingan akrab, bahkan saling menggenggam tangan ketika doa sedang berlangsung. Tentu saja ini momen berharga untuk menarik simpati massa Islam yang menjadi basis dukungan utama keduanya. Apalagi, massa peserta A-112 yang jumlahnya puluhan ribu itu sebagian besar mungkin saja warga Jakarta yang punya hak suara di Pilkada. Bagi mereka yang sudah menentukan pilihan makin mantapkan pilihannya, sedangkan bagi yang belum bisa jadi memutuskan dalam kesempatan doa bersama itu. Bukankah doa yang dipanjatkan banyak orang akan lebih didengar Tuhan?
Tidak hanya paslon 1 dan 3, paslon no.2, Ahok-Djarot pun ketiban kampanye bonus. Berakhirnya masa kampanye berarti pula berakhirnya masa cuti. Sabtu sore, 11 Februari 2017 telah dilakukan serah terima jabatan dari Pelaksana Tugas Gubernur Sumarsono kepada Basuki Tjahja Purnama-Djarot Saiful Hidajat. Dengan demikian, pasangan petahana ini kembali menjabat seperti sediakala, hingga berakhirnya nanti di Oktober 2017. Kecuali bila Ahok diputuskan bersalah dan harus menginap di hotel prodeo maka Djarot akan menggantinya menjabat Gubernur .
Di mana makna bonusnya? Dengan menjabat kembali, dapat membantu menciptakan citra positif terkait masalah hukum yang menjeratnya. Bila cutinya diperpanjang lantaran kasus hukum, tentu anggota masyarakat yang telah memutuskan akan memilihnya kembali ragu-ragu dan memikirkan ulang pilihannya. Sebab, apa gunanya memilih calon yang kelak akan masuk penjara? Juga, bagi yang belum memutuskan akan semakin pasti dengan sikapnya, yaitu tetap tidak memilih alias golput, atau kalaupun memilih akan menjatuhkan pilihan ke paslon lain.
Demikianlah, semoga dengan kampanye bonus bagi ketiga paslon, mereka dapat memasuki minggu tenang dengan tenang setenang-tenangnya. Kerja keras kampanye sudah selesai, doa sudah dipanjatkan. Apa pun hasilnya nanti, terimalah itu sebagai hasil keputusan rakyat, yang dalam demokrasi diyakini mewakili suara Tuhan, bukan?
Selamat berkontemplasi, selamat memutuskan masa depan DKI 5 tahun ke depan. Jayalah ibukota, jayalah Indonesia!
Salam Kompasiana!