Perbedaan antara “seni–puitika” dengan “sosio-humaniora” atau katakanlah sains adalah pada pijakan ontologis (klaim metafisiknya). Dari sudut sastra, misalnya puisi, banyak bertolak dari “realitas apriori,” yang hidup dalam kepala subyek. Ia nir pengalaman. Laksana bidadai perawan. Meski Aji menolak sebutan originalitas atau virginalitas ide. Ia tak dapat diukur dan bersifat metafisik. Dengan demikian, mungkin selalu dalam penantian untuk diungkap. Inilah yang oleh Aji disebut sebagai tindakan pembebasan.
Sementara itu, realitas (kebenaran) yang mau diungkap “sosio-humaniora” adalah kolaborasi antara yang apriori dan aposteriori. Ini khas Kantian. Jadi, paradigmanya bukan positivistik. Suara-suara dalam pikiran, yang diungkap dengan intusi (bukan metode, dalam ungkapan Felix), merupakan pantulan dari persepsi, pengalaman, pengetahuan yang terbingkai atau terkategori, yaitu sebagai sosial, hukum, politik, dan sebagainya. Intuisi Felix dalam mengungkap realitas pikiran pun bukanlah intuisi tanpa bobot kategoris. Intuisi sebagai gema-organik dari tumpukan padat pengalaman-pengalaman subyektif. Sebuah intuisi berbobot dan profesional. Karenanya, bersifat subyektif sekaligus obyektif. Di sini intuisi Felix berbeda dengan intuisi seorang penjual bakso mengamati kerumunan ibu-ibu kompleks perumahan yang sedang berkumpul gosip sambil menggendong dan bermain dengan anak-anak mereka. Sama-sama menggunakan insting. Tetapi berbeda dalam bobot, spasi dan orientasi. Atau, seperti pertimbangan seorang ahli dalam perkara racun sianida, meski bersifat subyektif namun intuisi-keprofesionalannya diandaikan memiliki bobot rujukan untuk menyingkap selaput misteri. Itu tentu berbeda dengan intuisi peramal nasib (fortune teller) yang bermetodekan terawang-menerawan.
Pertanyaan esensial adalah, apakah suara-suara dalam pikiran merupakan entitas di luar aku? Pebrianov menyebutnya sebagai “anak kandung kepala ku.” Tetapi, apakah itu adalah aku, bagian dari aku, atau sesuatu yang berjarak dengan aku? Kalau demikian, suara-suara itu apanya aku?
Orang-orang Kantian (Immanuel Kant) bisa jadi akan mengatakan bahwa suara-suara dalam pikiran adalah hasil persetubuhan antara realitas aposterori (pencerapan indrawi) dengan ideal-ideal subyektif yang tersimpan di arsip imajinasi subyek. Das sein dan das sollen bertumpuk, lalu memantul. Seperti teriakan Narcisus dan sahutan sang bidadari Gema, hakikat das sein adalah pantulan das sollen. Yang apriori dan aposterori bercumbu saling memagut lalu melahirkan dan beranakpinakkan ide-ide, suara-suara pikiran yang terus bergema, berkeriapan, datang dan pergi. Itulah sebabnya, suara-suara pikiran atau ide-ide akan terus bertambah, berlipat-lipat, memantul-mantul, berkilat-kilat seperti lecutan listrik berbalapan di lintasan neuron (sel saraf).
Kalau demikian, kita bisa tiba di penghujung simpang. Anak-anak sungai ide yang terbelah bisa bertemu juga dalam muara makna.
Pertama; bukankah realitas eksistensial adalah suara Narcisus, sehingga dalam kasus suara memantul gema (echo) tidak lain bahwa Narcisus mendengar suara sendiri? Kedua; pun obyek cinta Narcisus di permukaan kolam tidak lain bayangan Narcisus juga? Maka, yang dirindukan dan dicintai Narcisus adalah diri sendiri.
Demikianlah, mungkin, subyek “aku” yang sedang menikmati obyek “suara-suara dalam pikiran,” tidak lain adalah Narsisus yang sedang mengagumi keindahan dirinya sendiri di bening kolam. Sengat rindu (atau derita) untuk membebaskan “suara-suara dalam pikiran” pada hakikatnya adalah gejolak intuitif untuk pengungkapan diri subyek, si aku. Aristoteles menyebutnya dengan “mengaktualkan yang potentia” (actus-potentia). Jadi, mentransformasi ide-ide ke dalam narasi atau teks merupakan bagian utuh dari mengaktualkan potensi dari subyek aku. Dengan kata lain, membebaskan atau mengeluarkan bagian dari si aku yang masih tersembunyi. Maka, tidaklah lain kecuali tahapan dan proses menjadi diri; yaitu aku yang mengada. Sebuah proses menjadi yang hanya berakhir bersama kehidupan subyek!
Dengan sendirinya, yang hakiki adalah aku. Pilihan tindak, entah pembebasan, atau pemenjaraan realitas pikiran yang metafisik ke realitas kasat mata lewat kata, kalimat, narasi teks, ujaran, atau gambar, tidak lain manifestasi pengungkapan realitas subyek itu sendiri. Akulah subyek yang berpikir, sekaligus obyek pikiran yang sedang dipikirkan. Kata tidak lain tubuh bagi pikiran untuk dikenali. Substansi yang menemukan wadah untuk bereksistensi. Dalam kaitan ini, bisa dikatakan, hakikat aku adalah pikiran yang membumi lewat kata (teks, narasi).
Jadi, entah dipahami sebagai pembebasan ataupun pemenjaraan, yang pasti adalah tindakan terhadap subyek aku itu sendiri, yaitu pembebasan atau pemenjaraan diri si aku: subyek yang sedang sibuk mencumbui diri di kolam. Hingga mati.
Salam Kompasiana!
Catatan: diskusi yang cukup intens beberapa waktu lalu antara Kompasianer S.Aji (1, 2) Felix Tani (1, 2) , Pebrianov (1) dan Severus Triyanto (1) terkait topik ini sangat seksi dan menggoda. Oret-oretan ini merupakan hasil godaan itu. Tujuannya hanya ingin berbagi perspektif.