Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman Mati Nggak Ngefek bagi Pemerkosa Remaja, ini Solusinya!

8 Mei 2016   13:48 Diperbarui: 9 Mei 2016   21:39 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua; dari keluarga, anak-anak masuk ke lingkungan sekolah (pendidikan formal). Sekolah adalah lingkungan lanjutan untuk membentuk karakter anak-anak. Lingkungan sekolah yang ramah, yang dengan tegas mengajarkan sikap baik dan sikap buruk (moralitas), juga dengan keteladanan sikap guru-guru akan efektif berkontribusi bagi pembentukan karakter anak-anak Indonesia. Dalam  hal ini, pendidikan sekolah (terutama terkait pembentukan karakter) perlu berkolaborasi dengan institusi keluarga. Sayangnya, sama halnya dengan keluarga, praktek kejahatan, kekasaran, saling fitnah, saling menjatuhkan, dan sikap negatif lainnya kerap juga terjadi di sekolah. Ini tantangan besar lembaga-lembaga pendidikan.

Ketiga; institusi adat. Hendaknya institusi adat jangan hanya dijadikan dekorasi berpoles untuk menarik minat wisatawan. Instrumentasi “kekayaan  tradisi” bagi kepentingan komersil tidak bisa dibenarkan. Intitusi adat dan tradisi harus diperkuat sebagai bagian utama dari skenario membangun karakter bangsa. 

Revolusi mental seperti didengungkan Presiden Jokowi harusnya diawali di sini. Adat dan tradisi jangan diciutkan menjadi sekadar tarian-tarian dan hasil tenun atau buah tangan masyarakatnya. Melainkan terutama adalah nilai-nilai agung yang menjadi acuan pikir dan acuan tindak masyarakat, ajaran-ajaran luhur yang kerap tersampaian dengan indah lewat syair-syair, pantun berbalas, lagu-lagu, dongeng-dongeng atau mitos yang didalamnya terselipkan pesan moral, dan sebagainya. 

Lembaga adat perlu diberi kewenangan untuk ikut menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Dengan revitalisasi lembaga adat ajaran-ajaran moral mengendap dan menjadi roh dalam keseharian masyarakatnya.  Ini harusnya menjadi fondasi utama membangun karakter bangsa. Dan, dengan itu justru wisatawan tertarik karena tidak saja menikmati keeksotikan atrakasi budaya, melainkan mengalami sentuhan perilaku moral-etis-spiritual yang sesungguhnya menjadi ciri masyarakat Nusantara.

Keempat; pemerintah. Faktornya adalah kehadiran pemerintah. Frase yang sering digunakan Ahok dan Jokowi patut dijadikan jargon nasional, “Negara jangan takut/kalah dari preman/pada penjahat.”  Kita tahu, banyak pula orang pintar dan berpendidikan tinggi menjadi pembela para penjahat. Tetapi, negara tidak boleh kalah. Negara harus memastikan kehadirannya di tengah pergumulan masyarakat, dengan menciptakan tatanan lehidupan bersama yang menjamin rasa aman, tenteram, damai, bebas dari rasa takut dan keberanian terus bertumbuh meraih cita-cita  besar anggota masyarakatnya.

Kelima; institusi agama. Kelemahan besar pelaku agama adalah kurangnya keteladan dalam hal berbuat baik.  Dakwah dan khotbah-khotbah agama memang banyak menganjurkan kebaikan, tetapi para pendakwah dan pengkotbah kerap tidak bisa menjadi teladan dari kebaikan yang dikhotbahkan itu.  Lain dari itu, pelaku kejahatan harusnya diserahkan juga kepada “lembaga/tokoh agama,” dimana si pelaku menjadi anggota komuntas agama yang bersangkutan. Jadi, tidak saja lembaga keluarga (orang tua), lembaga adat, dan pemerintah, melainkan juga lembaga agama diberi peran atau diminta pertanggunganjawab atas pembinaan umatnya yang bersalah.

Keenam; “generasi tua.” Saya menggunakan tanda kutip untuk menjelaskan maksud saya, yaitu generasi di atas remaja. Ini cakupannya luas dan lebih terkait lingkungan; mulai orang dewasa, orang tua, pemerintah, tokoh agama dsb. Anak-anak dan remaja kita dikepung situasi keseharian dimana  atrakasi kejahatan lebih banyak daripada atraksi kebaikan.  

Oknum anggota DPR yang saling menjatuhkan, para pejabat yang berkelahi, orang tua selingkuh, pejabat pereguk narkoba, yang juga merambah berbagai kalangan, korupsi yang merajalela, dan sebagainya. Diselimuti oleh “iklim jahat” macam itu tanpa sadar menebarkan hawa beracun yang dengan sendirinya dihirup anak-anak dan remaja kita. Lalu, mereka meniru, mengadopsi dan memproyeksikannya dalam tindakan keseharian. Mereka bertumbuh dengan menghirup “udara jahat” macam itu. 

Saya mau tegaskan,  bahwa “kenakalan remaja merupakan manifestasi kenakalan orang tua (orang dewasa).”  Karena itu, bukan remaja yang harus  bertobat,  melainkan orang tua yang terutama bertobat lebih dahulu.

Akhirnya, kita butuh pertobatan nasional untuk menyelamatkan anak-anak dan remaja kita. Menyelamatkan masa depan bangsa yang kita cintai bersama ini. Mari bertobat!

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun