Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT di Indonesia, di Mana Posisi Negara?

23 Februari 2016   19:33 Diperbarui: 27 Februari 2016   19:34 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Bendera LGBT. gadoga.com"][/caption]Merebaknya berbagai kasus yang dilaporkan masyarakat, terkait dengan LGBT menggusarkan banyak orang. Mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, bahkan para menteri.  Isu ini makin mengemuka, pasca tertangkapnya penyanyi dangdut kondang, Saipul Jamil atas tuduhan “pelecehan terhadap anak laki-laki di bawah umur.”

Salah satu pernyataan yang sangat keras justru datang dari seorang pejabat Negara,  Ketua MPR RI,  yaitu Zulkifli Hasan. Seperti dikutip dari Wartakota.tribunnew.com: “Catat bahwa itu (LGBT) adalah penyimpangan,” ujar Zulkifli saat dimintai komentarnya di sela Musyawarah Wilayah (Muswil) ke VI Partai Amanat Nasional, Minggu (21/2/2016). Berbeda lagi dengan tanggapan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, sebagaimana dikutip dari  bbc.com/Indonesia, sbb: “Lepas dari tudingan terhadap UNDP, Jusuf Kalla mengakui, LGBT sebetulnya biasa saja. ’Hal-hal itu (LGBT), kalau secara pribadi, harus kita akui, itu memang ada.’

Belum lagi tanggapan masyarakat, dan apalagi tokoh-tokoh agama, yang secara umum bernada “negatif,” bahkan menentang LGBT. Dalam tulisan ini, saya ingin menunjuk posisi seharusnya dari Negara, dengan mengacu pada konstitusi (UUD 1945).

[caption caption="Sejumlah warga yang tergabung dari Forum Umat Islam Boyolali (FUIB) berunjuk rasa menolak pasangan sejenis di halaman kantor DPRD Boyolali, Jawa Tengah (Antara/Aloysius Jarot Nugroho)"]

[/caption]

Beberapa Mis-konsepsi terkait GLBT

Apa sesungguhnya LBGT itu? Bagaimana pandangan masyarakat, dan bagaimana seharusnya memposisikan atau menyikapi bagian dari kelompok masyarakat Indonesia yang seolah hendak dipinggirkan ini?

LBGT adalah akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender yang hakikatnya menyangkut kecenderungan orientasi seksual.  Kondisi, dimana ketertarikan antara sesama jenis, yaitu perempuan dengan perempuan (lesbian), dan laki-laki dengan laki-laki (gay). Kecendrungan biseksual adalah kombinasi keduanya, yaitu perempuan atau laki-laki yang tertarik, baik pada lawan jenis maupun sesama jenis. Sementara transjender adalah status penggantian jenis kelamin, yaitu yang lahir sebagai laki-laki tetapi merasa diri dan berperilaku sebagai perempuan, dan sebaliknya.  

Sebagai konsekuensi dari keunikan status di atas, kehadiran kelompok sosial ini mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat. Sebagai minoritas LGBT cenderung dipersepsikan sebagai “tidak normal” ditengah normalitas masyarakat kebanyakan.

Berikut, sejumlah pandangan tentang LBT:

  1. LGBT dianggap sebagai penyakit mental. Anggapan ini berlangsung untuk waktu yang cukup lama. Hingga lewat penelitian intensif berhasil dibuktikan bahwa LGBT bukanlah  penyakit, juga bukan mental disorder.  melainkan sekadar varian orientasi seksual dari orang-orang yang sesungguhnya sehat. Setidaknya ada empat lembaga dunia yang sangat kredibel merumuskan pemahaman baru ini, yaitu The American Psychiatric Association atau Asosiasi Psikiater Amerika  (tahun 1973), diikuti The American Psychological Association atau Asosiasi Psikologi Amerika (1975), lalu The National Association of Social Workes, dan terakhir oleh Lembaga Kesehatan Dunia PBB (WHO, tahun 1990)
  2. LGBT dipahami sebagai sejenis penyakit, yang lebih parahnya lagi dianggap menular, sehingga harus dihindari dan diatasi.  Kenyataannya, LGBT adalah sebuah kenormalan alami.  Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena LGBT juga terdapat di alam. Artinya,  LGBT merupakan gejala “normal,” alamiah, natural.
  3. Dianggap  sebagai “sampah masyarakat.”  Saya cenderung lebih percaya, bahwa LGBT, sebagaimana “penyakit sosial” lainnya, justru merupakan sampah keluarga yang dibuang ke tengah-tengah kehidupan bersama. Tidak pernah ada sampah masyarakat, kecuali bahwa sampah berserakan di masyarakt itu merupakan limbah rumah tangga. 
  4. Pandangan yang paling ekstrim, dalam hal ini menolak sama sekali LGBT adalah kaum agamawan. Dengan mengutip berbagai ayat suci, misalnya untuk kalangan Kristiani dan Muslim, menunjuk pada tragedi Sodom dan Gemorah, juga dengan kutipan narasi dari ayat suci lainnya, LGBT bahkan dianggap berbahaya.

Memposisikan LGBT secara Wajar

1. LGBT adalah warga Negara Indonesia. Sebagai warga Negara, mereka memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga Negara lainnya. Dalam pengelompokan sosial, LGBT memang minoritas, yang kehadirannya cenderung diabaikan, bahkan mungkin hak-hak mereka dikebiri. Tetapi, seharusnya sebagai warga Negara LGBT punya hak yang dijamin konstitusi. Hak-hak apa saja?

  • Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 UUD’45, ayat 1 a),
  • Hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A)
  • Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasa 28B ayat 1)
  • Hak untuk memenuhi kebutuhan dasar, memperoleh pendidkan, iptek, seni dsb (Pasal 28C ayat 1)
  • Hak untuk memajukan diri memperjuangkan hak secara kolektif (Pasal 28C ayat 2)
  • Hak  atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
  • Hak untuk mempunyai hak milik pribadi, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28l Ayat 1)

Menjadi masalah serius adalah ketika LGBT menuntut hak untuk membentuk keluarga, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat 1. Yang mempersoalkan adalah masyarakat luas, termasuk para tokoh masyarakat dan tokoh agama. Menurut saya, dalam menangani kasus LGBT, lepas dari sikap masyarakat, Pemerintah harus berpegang hanya pada konstitusi. Apa artinya? Sebagai warga Negara LGBT punya hak untuk berkeluarga. Tidak boleh ada halangan bagi mereka dalam membentuk keluarga sah. Tetapi,  harus diingat bahwa keseluruhan bunyi Pasal 28 ayat 1 adalah “kawin dan melanjutkan keturunan.”  Artinya, lembaga perkawinan mengandaikan institusi keluarga sebagai “wadah untuk mempertahankan spesies manusia melalui sistem regenerasi.” Jadi, lantaran haknya dijamin konstitusi,  LGBT berhak kawin, namun tentu saja mereka tidak dapat meneruskan keturunan. Ada pula varian dari tuntutan kawin LGBT ini, yaitu mengangkat (mengadopsi) anak. Saya berpendapat bahwa keluarga sah lesbi, atau homo, tidak berhak dalam hal ini, dan negara maupun masyarakat berhak melindungi anak-anak atau generasi dari kecenderungan LGBT. Ini bukanlah diskriminasi! Keluarga yang terdiri dari suami (laki-laki) dan istri (perempuan) yang tidak punya anak berbeda statusnya dari keluarga gay atau lesbi. Yang disebutkan pertama memiliki potensi melanjutkan keturunan, karena itu secara naluriah  mampu mendidik dan membesarkan anak-anak yang diadopsi (atas keinginan mereka). Sementara, yang disebutkan terakhir tidak memiliki potensi menghasilkan generasi (keturunan). Atas dasar itu, mereka tidak punya naluri ke-ibu-bapak-an sebagaiamana layaknya dalam sebuah institusi keluarga yang diproyeksikan meneruskan proses evolusi.

2. LGBT adalah ciptaan Tuhan. Sebagai Negara yang menganut paham penciptaan (creationism), kita tidak bisa mengabaikan faktor Pencipta dalam eksistensi LGBT. Pencipta tidak mungkin keliru dalam merencanakan. Jangan sampai, justru kita, termasuk para tokoh agama (penentang LGBT) yang gagal paham akan rahasia penciptaan. Atas dasar itu, kita tidak bisa mengadili LGBT berdasarkan kondisi kegagalpahaman itu. Kenyataannya, mereka tidak (sengaja) memilih menjadi GLBT, melainkan mereka mengalaminya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun