[caption caption="http://www.ozonesolutions.com/info/ozone-fallacies"][/caption]
Membaca “Serial Sesat Pikir” dalam tulisan Faisal Basri (FB) di Kompasiana, lalu, entah disusul atau memang berbarengan dengan berbagai tulisan lainnya (yang menggunakan frase yang sama), saya sedikit terganggu (tetapi juga curious) melihat semacam ada trend menggunakan frase “sesat pikir atau sesat nalar” di tulisan-tulisan kompasiana. Sampai-sampai ada juga yang membuat judul bernada kesal, “Pak Faisal Basri jangan Sesat Pikir Terus dong.” Mungkin bosan lantaran melihat banyaknya tulisan dengan judul sejenis. Bak epidemi. Tulisan serial FB ini lalu banyak dikomentari dan didebat, juga menghasilkan banyak tulisan tanggapan. Termasuk tulisan ini. Virusnya ikut menyebar. Tetapi tunggu dulu, virus itu bisa bermanfaaat, pun bisa berbahaya!
Saya tidak akan membahas yang sudah dibahas di Kompasiana. Juga tidak mendebat. Terutama karena saya tidak punya kompetensi terhadap substansi atau bidang yang dibahas. Misalnya, tulisan-tulisan pak Faisal Basri, yang lebih banyak mengandung kritik Kebijakan Pembangunan, terutama di bidang ekonomi. Bidang yang memang sangat dikuasianya karena bagian dari kepakaran beliau. Dan, menurut saya kritik-kritik beliau bermanfaat.
Tetapi, karena “tuduhan” sesat pikir menyedot banyak perhatian, saya mencoba mengambil salah satu tulisan dari serial itu, lalu mengajak kita merunut susunan nalar, atau struktur bangunan argumentasinya untuk mengevaluasi bersama-sama apakah benar terjadi sesat/pembelokan nalar atau tidak. Kalau terjadi, dimana persisnya. Saya juga akan mengaitkannya dengan tulisan terbaru dari serial sesat pikir itu (yang baru muncul sementara saya sedang menyiapkan tulisan ini) guna memperkuat kesimpulan. Dengan demikian, diskusi saya lebih terkait dengan runtutan bernalar menurut ilmu bernalar (logika).
Sesat pikir itu apa sih? Bayangkanlah sebuah kereta api dari Semarang menuju Jakarta, tiba-tiba meluncur ke luar jalur seharusnya, entah dititik mana, lalu tersesat tiba di Bandung. Keluar dari jalur seharusnya berpotensi bahaya, karena bisa bertabrakan dengan kereta lain yang jalurnya diambil itu. Atau pembelokan jalur bisa mengakibatkan, misalnya kereta menabrak perumahan penduduk, menabrak gunung atau kecebur ke sungai. Keluar jalur pasti tersesat, dan berpotensi membahayakan! Maka, untuk menemukan penyebabnya, kita dapat menyusuri jalur rel dari TKP (tempat kejadian perkara), terus ke belakang untuk menemukan letak terjadinya “pembelokan” jalur itu.
Sesat pikir biasa disebut juga sesat nalar, kerancuan berpikir, atau dalam bahasa Inggris disebut fallacy. Sederhananya dipahami sebagai proses penalaran yang tidak memiliki alur logika lurus, meleset arah sehingga membawa pada kesimpulan menyesatkan. Bisa juga dipahami sebagai proses penalaran yang tidak sesuai prinsip-prinsip berlogika atau prinsip silogisme. Untuk itu jalur berlogika atau bernalar dari sebuah klaim/tuduhan/kesimpulan perlu dirunut, dibentangkan atau ditelusuri mulai dari premis dasarnya, data pendukungnya, relevansi (kaitan logis) antara kesimpulan dengan data atau premis penopang kesimpulan. Bisa juga dirunut dari kepalanya (konklusinya/TKP) lalu mundur ke belakang untuk menemukan premis-premis pendukung. Prinsipnya, tidak ada klaim atau kesimpulan yang datang dari ruang hampa. Jika ada asap telusuri arah datanganya maka api yang menjadi sumber asap pasti akan ketemu.
Kerapkali sejumlah ungkapan (proposisi/premis) bersifat kesimpulan, sebenarnya premis pendukungnya hanya diandaikan sudah diketahui. Jadi tidak terungkapkan atau tidak tereksplesitkan. Untuk melakukan analisis penelusuran nalar, kita harus membongkar premis-premis tersembunyi itu dengan berbagai varian posibilitasnya. Untuk itu memang dibutuhkan keahlian relevan agar bisa memahami substansi nalar yang diandaikan.
[caption caption="http://www.katamami.com/archives/199"]
Kembali ke kasus FB, atas berbagai kritik dan serangan terhadap “Serial Sesat Pikir”nya, FB membuat semacam pembelaan atau klarifikasi:
“Yang dulu benar barangkali sekarang tidak relevan lagi. Perubahan sedemikian sangat cepat. Yang kita ketahui sangatlah sedikit, apalagi tentang masa depan. Kita dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan di sekitar kita, yang dekat maupun yang jauh. Kegagalan memahami perubahan lingkungan strategis bisa mengakibatkan petaka.”