Angin sepoi-sepoi terasa begitu semilir menghembuskan kesejukan rerimbunan pepohonan beringin yang melegakan dalam terik sinar matahari yang semakin menghujam bumi di siang bolong. Seorang pemuda bernama Danarto Doha pun segera menghentikan sepedanya di tepian utara papan informasi Alun-alun kota Purwakerta. Ia kemudian memilih artikel berita yang akan dibacanya terlebih dahulu, liputan olahraga liga sepakbola Eropa; Chelsea vs Real Madrid di kandang Chelsea yang berakhir kekalahan sang tuan rumah 1-0 dari lawan main.
"Ah... ternyata walau terlewatkan menyimak siaran langsung, aku tetap puas mendapati berita kemenangannya..." ujar Danarto Doha dalam hati sambil tersenyum-senyum puas sendiri.
Penelusuran berikutnya dilanjutkan Danarto Doha dengan melahap berbagai artikel berita dari segala bidang pemberitaan yang dipampangkan hari itu. Berita ekonomi, sosial-budaya, politik, hingga hiburan. Kepalanya kini mulai upgrade dari segala pembaharuan yang ada. Tanpa terasa, ia makin asyik mengamati segala pemampangan berita hingga ke papan informasi paling selatan dari ketiga papan informasi yang berbanjar di situ. Ketika sudah sampai di ujung, pandangannya tersita pada seorang gadis yang manis dan cantik rupawan.
Gadis itu sedang sendirian sambil mengusap-usap kelopak matanya dengan punggung tangan, mungkin saja kelilipan atau terhanyut oleh buku bacaan yang sedang berada di pangkuannya. Danarto Doha pun penasaran, ia segera meninggalkan papan informasi dan mendekatinya. Gadis itu terkejut akan kehadiran Danarto Doha di hadapannya yang terhalang pandang oleh penyekaan matanya. Dalam keremangan pandang, tampak olehnya Danarto Doha menyodorkan sapu tangan keramatnya yang selalu ia bawa ke mana pun saat bepergian.
"Silahkan dipakai saja nona, untuk memudahkan penyekaan anda. Masih bersih kok, belum saya pakai sama sekali..." ujar Danarto Doha menawarkannya dengan nada ramah bersahabat.
"Eh, te..te..terima kasih, maaf jadi merepotkan anda..." ujar gadis itu malu-malu menerimanya. Kemudian ia pun mulai menggunakannya untuk membasuh pelupuk mata.
"Bolehkah saya tahu, buku apa yang sedang anda baca. Apa sangat menyedihkan hingga membuat anda menitikkan air mata?" tanya Danarto Doha mengumbar senyum pepsodentnya.
"Ah iya, ahahaha... saya jadi begitu terbawa perasaan dari pemaparan yang ada di sini. Buku ini membahas tentang dampak globalisasi ke depannya. Kemajuan ternyata hanya semakin membawa dampak yang menyedihkan dari kumparan ambisi yang saling tumpang-tindih..." ucap gadis itu menjelaskan tutur kata yang lembut dan merebut kalbu Danarto Doha seketika.
"Owh, anak muda jaman sekarang masih ada yang kritis seperti Bung Karno. Apakah anda ini seorang ekonom?" ujar Danarto Doha tersenyum ramah sambil meminta izin duduk berhadapan dengannya di kursi beton melingkari yang berada di bawah rerimbunan Beringin.
"Hei, Bung Karno itu bukan seorang ekonom... dia hanya seorang nasionalis yang berdikari. Kalau dia seorang ekonom, mungkin peristiwa naik turunnya Rupiah tidak berbuah Tritura. Sedangkan aku masih seorang pelajar di sekolah menengah yang tersendiri seperti ini..." ujar gadis itu menjawab pertanyaan sekaligus menyanggah pernyataan Danarto Doha yang jadi salah tingkah sambil nyengir kucing dan mengangguk-angguk pengertiannya.
"Oh maaf, saya kira nona sudah masuk dalam dunia kerja. Jurusan sosialkah yang nona ambil?" tanya Danarto Doha lagi sambil melipat kedua tangannya di atas meja beton bulat.