Mohon tunggu...
Buyumski Barbara
Buyumski Barbara Mohon Tunggu... -

loveable

Selanjutnya

Tutup

Politik

Brand Jokowi

25 Maret 2015   12:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:03 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konser Dua Jari mungkin jadi pertunjukan yang tidak bisa dilupakan. Di konser itu, terlihat bagaimana teori kampanye dan aktivasi brand yang selama ini kita kenal, yang mewajibkan keseragaman, tidak lagi berlaku. Tidak ada konsistensi mengenai eksekusi. Tidak ada pengunjung yang memakai baju, embel-embel, serta atribut yang sama. Tapi semuanya bersama dalam satu iman: mereka percaya bintang pertunjukan itu adalah orang yang akan berjuang untuk rakyat.

Sikap masyarakat terhadap brand zaman sekarang memang sudah berubah. Jika dulu mereka mudah terperdaya oleh ilusi iklan, sekarang mereka sudah jauh lebih ‘pintar’. Masyarakat tak lagi sekadar menjadi obyek gempuran iklan. Sebaliknya, mereka kini justru lebih aktif mencari tahu sedalam-dalamnya tentang brand yang akan mereka pilih dan gunakan.

Brand seperti Bodyshop adalah contoh yang paling relevan. Kampanye mereka yang tidak melakukan animal testing dan kenyataan bahwa produknya dibuat oleh kaum-kaum yang memang membutuhkan penghasilan dari pekerjaan itu menjadi brand story yang mampu menciptakan reason to believe (RTB) yang kuat terhadap brand yang bersangkutan.

Ketika ada human story yang tulus, ketika ada mission yang jelas, dan ketika kita kerja dengan klien bukan hanya untuk revenue tapi juga memahami produk itu untuk manusia apa gunanya, baik secara logika maupun emosional, itu yang sangat membantu untuk membuat kita akan lebih percaya. Believe in the brand itu bukan cuma believe in the final product. Tapi what does product do ke orang-orang itu sendiri. Oleh karena itu, kinerja Jokowi sudah terlihat banyak orang yang sudah tahu bagaimana hasilnya, jadi lebih gampang menjualnya.

Jokowi sebagai brand, adalah brand yang muncul secara organik. ‘Merek’ Jokowi tidak membutuhkan kampanye propaganda khusus. Bahkan, Jokowi itu sudah mencapai titik beyond brand. Jika kita mau membedah brand, ada yang namanya brand DNA atau brand equity. Dan, semua tentang Jokowi adalah tentang people power. Jadi, mau dibungkus seperti apapun, karena action-nya sudah menunjukkan people power, brand itu pasti delivered.

Ketika brand itu nggak perlu kerja keras secara superfisial, secara look, menggunakan atribut tertentu, itu yang membuat poin Jokowi itu sangat menjual. RTB dia sangat kuat. Without having to publish.

Banyak yang bilang aktivitas Jokowi, termasuk salah satunya blusukan, hanya bentuk pencitraan diri semata. Nyatanya, blusukan adalah salah satu bentuk konkret RTB Jokowi. Yang lebih unik, sebagai sebuah brand, Jokowi justru telah menghantam pakem-pakem komunikasi publik yang selama ini sudah ajeg dikenal. Brand Jokowi tidak lagi mengindahkan satu bentuk keseragaman, satu pesan yang sama, atau satu kanal media yang serupa. Padahal, dalam dunia periklanan ataupun komunikasi massa, hal tersebut tentu diharamkan.

Ketidakseragaman itu muncul karena perbedaan the nature of the brand. Jokowi itu sangat organik. Justru ketidakseragaman itulah yang unik. Yang menarik, campaign-campaign itu munculnya bukan dari Jokowi. Setiap orang punya caranya sendiri. Yang menarik adalah bagaimana dia ini Bhinneka Tunggal Ika dan mempersatukan semua wacana.

Hal yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah “Carilah sesuatu dari brand itu yang matters to people, apakah itu RTB, apakah itu kegiatannya yang memang tulus, yang memang genuine. Itulah yang kita angkat. Brand story dari si produk itu yang punya kepentingan untuk membantu orang banyak. Tapi, untuk mencapainya tentu bukan hal mudah. Dan, brand Jokowi berhasil mencapai level ini karena kinerjanya sendiri sudah terbukti di mata orang banyak.

Tapi, kita tetap harus melihat ketertarikan audiens brand tertentu pada cerita yang seperti apa. Dan, kita harus menyesuaikan. Jangan kita memaksakan cerita yang sepertinya tulus, hanya karena ini cerita yang mengandung unsur sosial, tapi tidak cocok dengan personality brand-nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun