Ibrahim tersadar dari mimpinya. Napasnya saling memburu, antara napas satu dan lainnya 'jaraknya' hanya satu detik, sangat cepat. Jantungnya berdetak kencang. Tubuhnya bermandikan keringat.
Ternyata hanya mimpi.
Mengapa mimpi itu menghampirinya? Sampai saat ini, ia belum tahu mengapa mimpi disebut juga bunga tidur? Padahal mimpi tak selamanya indah. Tak jarang, beberapa mimpi membuat kita ketakutan atau penasaran ketika terbangun. Seperti mimpinya malam ini.
Dalam mimpinya, Ibrahim sedang berada di gurun pasir yang terhampar luas. Matahari terasa panas menyengat kulit halusnya. Sepanjang penglihatannya hanya ada pasir. Angin menyapu lembut butiran pasir. Membawanya hilir mudik tak tentu arah. Di sana, ia bagai butiran kecil pasir. Terhempas ke utara atau ke selatan. Jalan tergopoh-gopoh. Keringatnya mengalir di setiap inci tubuhnya. Tak ada sumber air di sekitarnya. Kehausan. Tak tahu harus ke mana. Mencari apa.
Di mana ini?
Awan hitam tiba-tiba menyarungi matahari. Kali ini Ibrahim tak merasa sepanas sebelumnya. Hawanya sedikit sejuk, ditambah lagi, angin berhembus sepoi-sepoi, membelai tubuhnya dengan kesejukan. Ia pun memutuskan tuk sedikit saja beristirahat. Duduk santai sembari menatap butiran pasir di depannya.
Tiba-tiba, pada pasir di depannya tertulis suatu kalimat.
Apakah kamu tak ingin menyurat untuk Tuhan, Ibrahim?
Ibrahim pun membalas dengan menuliskan kalimat,
Memangnya bisa menyurat kepada Tuhan lewat hamparan pasir ini?
Lama Ibrahim menunggu jawaban dari tanyanya. 'Sarung' matahari di langit biru semakin 'besar' dan 'kainnya' bertambah 'tebal'. Sejurus kemudian, sesuatu yang ditunggu Ibrahim akhirnya nampak jua.