Butiran butiran kecil, bening,mulai berjatuhan, seperti salju di musim dingin atau lebih tepatnya hujan. Namun hal ini berbeda.. sangat berbeda.Butiran bening itu hanya membasahi wajah seorang anak muda yang sedang berjalan gontai. Langkahnya begitu lemah, seakan ada pemberat yang melingkari mata kakinya. Wajahnya pun begitu buruk, bukan karena dia jelek atau buruk rupa, melainkan ketampanannya terkuras habis karena kepedihan yang terus menerus menyiksa batinnya. Berjalan tanpa tujuan, melangkah tanpa arti, bak kapal tanpa kompas, itulah yang dilakukannya..
Sore itu langit begitu cerah. Entah sejak kapan dia duduk membisu di taman itu. Orang ramai berseliweran di depannya, namun dia tetap terpaku dalam kebisuannya.Keputusasaan mengrogoti semangat hidupnya, secara perlahan tapi pasti. Jika terus dibiarkan keputusasaan akan membangun sarang dan akan mengajak kawanannya untuk membuat sarang bersama sama. Anak muda itu mengerti bahkan mungkin dia ahli mengajarkan hal yang demikian. Tetapi kehidupan selalu berbicara dengan bahasa yang berbeda.
Mungkin sajadia belum memahami sepenuhnya apa yang diajarkannya. Kalau saja anak muda itu mau bersahabat dengan alam dan berteman dengan kesunyian, dia pasti akan menemukan jawaban dari setiap penyebab keterpurukannya. Alam bersaksi dan menunjukan kemuliaan sang pencipta dan kesunyian menjadi cara sang khalik untuk memeluk erat ciptaan-Nya.
Dalam duduk tenangnya, anak muda itu membisu dalam keramaian sore itu. Sesekali dia melirik ke langit dan terlihat mulutnya bergerak secara tidak beraturan. Apakah itu tanda dia sedang berdoa, meminta pertolongan dari sang khalik. Ataukah makian demi makian yang tercetus dari hati dan keluar lewat rongga mulutnya? Entalah..
Mungkin saja anak muda itu memiliki seribu satu macam alasan untuk marah dengan semua orang bahkan terlebih Tuhan. Tetapi apakah kemarahan bisa menyelesaikan masalahnya. Tentu anak muda itu mengerti bahkan mungkin ahli dalam mengajarkannya. Kemarahan seperti api yang menghanguskan bahkan seperti peluru yang tanpa ampun menghujam hati, namum hasilnya hanya kematian dan kebinasaan.
Jika kemarahan itu dibiarkan, amarah itu akan menghanguskan kehidupannya. Anak muda itu pun tahu apa akibat dari amarah yang tak terkendali. Namun tentunya dia belum memahami bahwa kehidupan selalu mendidik manusia dengan cara yang berbeda. Jika saja dia mau berdamai dengan kemarahan, anak muda itu akan mengerti bahwa dibalik kemarahan ada cinta yang menyejukan jiwa.
Langit terbentang bebas, Nampak luasnya tak bisa diukur oleh tangan manusia. Namun dibalik langit yang megah dengan ukurannya tak berhingga, ada tangan yang tak terlihat, yang bisa mengukur luasnya langit indah sore itu. Sekonyong konyong melintas sang penguasa udara, terbang lepas tanpa khawatir kehilangan keseimbangan. Burung burung itu memebentuk lingkaran dan mengitari surya yang sebentar lagi terlelap. Samar samar terdengar lantunan melodi yang indah dan mampu menyihir hati yang gusar. Suara melodi itu masuk di telinga anak muda itu dan menyentuh dengan lembut hatinya yang koyak akibat tak mampu menahan beratnya beban yang menimpahnya. Alunan melodi itu terdengarjelas di telinganya, masuk dan membelai lembut jiwanya, seolah olah alunan melodi tersebut secara perlahan menjahit hatinya yang koyak. Setiap nada yang menyentuh hatinya merupakan jarum tajam yang mencoba menjahit sobekan demi sobekan kecil dihatinya. Dia mengigit kecil bibirnya yang kering sambil menutup matanya. Seketika itu juga air matanya keluar dari lubang kecil yang tersembunyi dibalik kelopak mata yang keriput. Dan dia pun tak kuasa menghindarinya. Air mukanya pun berubah. Sesekali dia menyeka wajahnya dengan tangannya yang kotor. Namun dia tak bisa membendung kesedihannya yang terurai menjadi air mata. Alam bernyanyi dalam hatinya dan meruntuhkan tembok kebisuan yang dibangunnya selama bertahun-tahun. Anak muda itu terjaga dari mimpi buruknya.
Semilir angin sore itu menciptakan kekakuan disekujur tubuhnya. Daun daun berjatuhan diterpa angin sepoi sore itu, sesekali menggulung bersama angin dan terbang melintasi jalan yang ramai dengan orang orang yang lalu lalang. Pandangannya kosong namun penuh pertanyaan. Entah sudah berapa lama dia di tempat duduk itu.
“apakah yang harus aku lakukan?” Tanya anak muda itu dalam hatinya.
“kamu tidak harus melakukan apa2 anak muda”. Sambil menepuk kecil pundak anak muda tersebut, pengemis itu menjawab pertanyaan yang dia sendiri bingung menjawabnya.
Tersentak karena jawaban yang tidak dinantikannya dan tepukan kecil dipundaknya membuat anak muda itu menjadi terkejut dan heran. “loh.. Anda siapa?” tanyanya tegas dan sedikit kasar.
“saya..?” jawab pengemis itu.“Saya.. saya pengemis”. Sambung pengemis tua..
“apa urusan anda dengan saya?” bentak anak muda itu!
“Anak muda, mungkin anda tidak mengenal saya, namun saya begitu mengenal anda”
“Anda orang gila! Saya tidak punya teman pengemis satu pun di seantero bumi ini” cetus anak muda itu.
“kalau benar begitu, ijinkan saya duduk disamping tempat anda duduk” pinta pengemis itu.
Tanpa bicara, anak muda itu mengeser sedikit duduknya dan mememberi sedikit ruang buat pengemis tersebut, kelihatan sekali penolakan terhadap kehadiran pengemis tua tersebut. Pengemis itu pun duduk di samping kanan anak muda itu.
“Anak muda, mungkin saja Anda tidak punya teman yang berstatus pengemis. Namun jangan pernah menganggap pengemis sebagai manusia yang hina. apakah Anda tahu bahwa semua manusia adalah pengemis? Bahakan lebih buruk dari pengemis? “
“Anda bicara apa orang tua?”..
“iya.. saya bicara sesuai fakta” jawab pengemis itu. “Anda mau bukti?” sambung pengemis itu!
“mana buktinya?” anak muda itu menantang!
“sebentar” coba Anda perhatikan genangan air itu, sambil menunjuk ke kolam yang berada tepat di belakang tempat duduk mereka.
Anak muda itu pun menurut.
“apakah yang Anda lihat anak muda?” Tanya pengemis serius.
“Tidak ada” jawab anak muda itu kusut.
“Anak muda. Cobalah Anda perhatikan sekali lagi” pinta pengemis itu.
Sekali lagi anak muda itu menurut dan seketika itupun anak muda itu marah sebab wajahnyalah yang lihatnya.
“apa apaan ini? Anda menghina saya?”
“Anak muda, saya tidak menghina Anda. Tapi itulah faktanya. Sama seperti air yang jernih, yang kau pandang barusan tidak akan mungkin bisa berbohong, begitu pula dengan hati Anda.”
Sejenak anak muda itu membisu, dan kembali tenang setelah mendengar pernyataan dari pengemis tua tersebut. Anak muda itu kembali duduk dan mencoba mendengar nasehat yang keluar dari mulut pengemis tua itu.
“Anak muda, kekecewaan memiliki cara untuk mematahkan sayap indahmu. Dan jika dibiarkan, engkau akan lupa kelak bahwa engkau sebenarnya ditakdirkan untuk terbang”. Sambung pengemis tersebut.
“lalu apa yang harus aku lakukan?” gumamnya.
“seperti yang saya katakan tadi. Engkau tidak perlu melakukan apa apa!” jawab pengemis itu.
“lalu..?” Tanya anak muda itu bingung.
“Anak muda., suatu hari ada seekor burung pipit yang tertangkap oleh pemburu. Burung pipit tersebut dimasukan dalam kandang yang besarnya hanya seperti tong sampah di depan sana dan menjualnya”. Sambil menunjuk kearah tong sampah di taman itu.
“ sekalipun burung pipit itu masih bisa melihat dengan jelas keindahan alam ,akan tetapi burung itu tidak bisa sepenuhnya menikmati keindahan alam yang dipandangnya. Burung pipit itu pun meronta ronta di dalam kandang yang menjadi penghalang untuk mengepakan sayapnya secara lepas dan terbang bebas. Alhasil burung ini sakit parah karena kedua sayapnya patah akibat terjepit disalah satu besi penyangga dinding kandangnya. TetapiOrang yang membeli burung tersebut merasa kasihan dengan burung pipit itu dan membawa burung itu ke dokter hewan. Singkat cerita, beberapa minggu kemudian setelah dirawat, burung itu sembuh dan bisa terbang kembali. Burung itu pun sangat bahagia. Waktu diperhatikan oleh orang yang membelinya, orang itu merasa kasihan pula karena burung pipit itu tidak bisa terbang bebas menggunakan sayap barunya. Oleh sebab itu orang tersebut memutuskan untuk melepas burung pipit tersebut dari kandangnya.”
Pengemis itu berhenti sejenak. Dan melanjutkan ceritanya.
“Anak muda, apakah yang dilakukan oleh burung tersebut sampai dia dibebaskan?”
Tanya pengemis tua itu serius.
“tidak ada!” jawab anak muda itu spontan.
“Benar sekali jawabanmu!. Anak muda, kau tidak perlu melakukan apa apa dalam hal ini. Seperti burung pipit itu yang dilepaskan hanya karena diberikan kasih karunia dari orang tersebut, begitu juga engkau anak muda. Berhentilah mempersalahkan dirimu sendiri, oranglain, dan terlebih Tuhan. Tetapi berdamailah dengan dirimu sendiri, berdamailah dengan oranglain dan berdamailah dengan penciptamu. Danbiarkan kasih karuniaNya membebaskanmu dari kandang kekecewaanmu, sehingga hidupmu menjadi baru!”.
Anak muda itu tersentak, namun dia memilih untuk diam.
“anak muda, percayalah nyanyian alam yang menyapa hatimu beberapa jam yang lalu adalah tangisan Tuhan karena melihat kesedihanmu. Ijinkan Dia mencintaimu dan cintailah Dia seperti Dia mencintaimu, sebab cinta adalah mahkota kehidupan”
Pengemis itu lalu dari padanya. Namun anak muda itu tetap membisu dalam kebahagiaannya. Dia merasa bahwa beban berat yang menungganyinya selama bertahun tahun telah dilepaskan dari pundaknya. Saat itu pun dia bangkit dari tempat duduknya dan menatap langit lalu berkata dalam hatinya : “aku takkan berhenti sampai disini dan takkan pernah menyerah menjalani kehidupan yang layak aku jalani”.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H