Setiap orang memiliki tafsirnya sendiri tentang Ibu di sosial media mereka. Di akun FB, Twitter, Path, Instagram, BB, Line, WA, atau mungkin di Kompasiana dan akun-akun mereka lainnya yang membuat mereka merasa didengar dunia. Merasa hidup di dunia senyatanya. Cobalah perhatikan lini masa atau status akun mereka pada hari-hari yang bertemakan ibu.
Saya berandai-andai. Seandainya para ibu dapat memberi tafsir tentang sosok anak di sosial media yang sama. Seandainya mereka dapat mencurahkan isi hati mereka tentang anak-anak mereka.Tentang anaknya Tono yang sangat fokus setiap harinya, menatap layar memainkan smarthphonenya. Cerita soal Tino yang senyumnya begitu bersinar setiap mendengar bunyi PING! Curhat tentang Tina yang sukses menjadi pengusaha online dan sibuk melayani pelanggannya di monitor. Atau soal Toni yang yang pekerja keras dan meski sudah pulang ke rumah harus sibuk membalas email kliennya.
Sayangnya, banyak para ibu terlalu sibuk memperjuangkan keluarga. Mengurus rumah yang lantainya mulai terlihat kumuh. Membereskan pakaian menggantung di kamar anak-anak yang sudah terlihat lusuh. Belanja untuk makan malam berharap ada kesempatan berkumpul bersama. Lebih dari itu mereka terlalu sibuk mencari cara untuk dapat berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Setiap orang memuja ibunya di sosial media, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu mengakui kehebatan ibunya melalui personal media. Itulah tantangan mendeskripsikan figur ibu di era sosial media. Bagiku sendiri, pusara ibu terlalu jauh di salah satu perbukitan desa di seberang pulau sana. Meski demikian jarak kami selalu sedekat doa. Sebab rasanya di surga tak butuh sosial media.
Hari ibu adalah setiap hari dimana kita menyapanya hormat, meski hanya melalui doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H