Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Politik

BATU TULIS MAKAN TUAN?

20 Maret 2014   05:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:43 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395243961306310231

Perhelatan politik 2014 ini semakin seru dan cenderung memanas pasca deklarasi sederhana Jokowi sebagai Calon Presiden di Rumah Si Pitung, Marunda. Deklarasi Jokowi di Rumah Si Pitung pasca dibacakannya mandat dukungan dari Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarno Putri ditandai dengan komentar sederhana si gubernur tentang situs sejarah itu sebagai simbol perlawanan. Perlawanan terhadap siapa, kita belum lagi tahu arahnya. Kendati demikian konstelasi politik dan perbincangan publik semakin dinamis akibat dari keputusan luar biasa Megawati yang menekankan sikapnya sebagai seorang demokrat sejati. Keputusannya mendengarkan aspirasi rakyat yang lintas partai dan golongan pada satu sisi mematahkan kampanye negatif yang selama ini ditujukan padanya, sementara satu sisi yang lain menunjukkan bagaimana ia secara bijak dan arif menyikapi fenomena Jokowi.

Selain merapatnya banyak tokoh politik, gerakan sipil, pengusaha, hingga militer pada Jokowi dan juga Megawati, gempuran yang tampak nyata justeru datang dari mitra lama PDI-P, Partai Gerindra. Pasca keputusan bersejarah yang diambil penuh perhitungan oleh Megawati untuk mendukung Jokowi nyapres, elit partai Gerindra mulai terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka. Tak tanggung-tanggung, Capres dan tokoh utama dari Partai Gerindra langsung meradang danmelakukan serangan tak terkendali terhadap Mega dan Jokowi. Hal ini terkait adanya kesepakatan politik antara Prabowo dan Mega ketika koalisi Garuda Emas dan Banteng pada pemilu 2009 lalu.

Kemarahan Prabowo Tanpa Arah

Kesepakatan yang memuat poin-poin penting koalisi politik tersebut dibangun saat keduanya bersama partai pendukung bersepakat menghadapi pemilu 2009. Pada bagian akhir kesepakatan di poin ketujuh dinyatakan bahwa Megawati akan mendukung pencalonan Prabowo sebagai Calon Presiden pada 2014. Poin ini menjadi krusial bagi Partai Gerindra dan Prabowo yang sudah kadung ngarep dukungan besar dari PDI-P. Akibat harapan yang tak terwujud itu tanpa menyiapkan skenario cantik, elit partai Gerindra hingga Sang Jenderal langsung meradang dan menyampaikan makian pada pihak-pihak yang dituding mencla-mencle dan berkhianat. Dalam beberapa kesempatan kampanye, Prabowo terus menyuarakan kegalauan dan kemarahannya kepada publik.

Kemarahan Prabowo dalam perspektif politik barangkali bukanlah sebuah kekeliruan dan lumrah. Menjadi menarik ketika kemarahan itu diluapkan begitu saja tanpa skenario politik yang elegan. Tudingan bahwa Megawati tidak etis secara politik karena dinilai mengkhianati perjanjian Batu Tulis kemudian dibalas dengan sikap tidak etis bagi seorang tokoh utama partai. Bila sebelumnya Fadli Zon, Hashim Djojohadikusumo dan elit lainnya menyinggung perjanjian tersebut, tentu masih merupakan riak-riak politik yang wajar. Namun berbeda halnya ketika hal itu diungkapkan dengan penuh emosional oleh Prabowo. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kemampuan Capres yang selalu mencitrakan dirinya dengan pasukan elit TNI, Kopassus, dalam mengendalikan emosinya.

Meski sebagian besar kalangan muda banyak yang apatis tentang sejarah Indonesia khususnya sejarah kontroversial tahun-tahun lengser keprabonnya Soeharto yang tak lain adalah mertua Prabowo, Sang Jenderal perlu ingat media kian beragam. Kemarahannya yang cenderung tidak terpola dan spontan mulai dikaitkan dengan perannya yang masih belum jelas di mata hukum atas kasus penculikan tokoh-tokoh muda pergerakan masa itu. Banyak yang mulai menyinggung cara merespon Prabowo atas perjanjian Batu Tulis dengan berbahayanya bila dia menjadi pemimpin negeri ini yang masih belum usai dengan sejarah kelamnya. Negeri yang banyak menyimpan anomali penghargaan terhadap sejarah bangsa. Citra hebat yang telah dibangun Prabowo selama bertahun-tahun dengan biaya besar di media bertendensi remuk bilamana perjanjian Batu Tulis masih dijadikan senjata laras panjang untuk menekan arus dukungan terhadap Jokowi.

Prabowo mesti sadar bahwa perjanjian Batu Tulis sebagai sebuah perjanjian politik memiliki faktor politik pula. Faktor yang melampaui nilai etik yang digembar-gemborkan oleh Prabowo sendiri. Faktor politik itu salah satunya adalahindependensi PDI-P sebagai sebuah kekuatan politik yang mandiri. Faktor politik lainnya adalah justeru pada bagian awal yakni poin 2 yang menunjukkan sebuah indikasi persyaratan akan terjalinnya perjanjian tersebut. Pada poin 2 tersebut dinyatakan bilamana keduanya sebagai pasangan Capres-Cawapres pada saat itu memenangkan pertarungan politik 2009 yang faktanya tidak terwujud. Lebih dari itu faktor politik yang mesti disadari benar oleh Prabowo adalah arus besar media dan masyarakat yang menginginkan Jokowi sebagai Calon Presiden RI. Faktor politik ketiga ini yang bahkan Megawati sendiri benar-benar waspada menyikapinya karena adanya kemungkinan Jokowi dimanfaatkan sebagai boneka oleh kepentingan pengusaha hitam di belakangnya. Bahwa kemudian saat ini Megawati merestui pencalonan Jokowi tentu harus dilihat sebagai sebuah keputusan luar biasa hebat. Sebab pertama-tama Megawati benar-benar harus memastikan kesiapan Jokowi dan loyalitasnya terhadap arah perjuangan partai dan tidak ditumpangi oleh kepentingan asing. Itulah sebabnya Megawati seringkali bersama Jokowi untuk memantapkan keyakinannya bahwa si Gubernur DKI akan loyal pada cita-cita perjuangan partainya. Tidak melakukan khianat sebagaimana yang banyak dialami Megawati sejak dikadali oleh poros tengah hingga ditinggalkan menteri-menteri yang dipercayanya.

Megawati Puteri Sang Penyambung Lidah Rakyat

Hal yang lebih penting lagi adalah Prabowo mesti ingat siapa Megawati. Sebagai tokoh bangsa yang telah mengalami fase-fase sulit dan penindasan rezim orde baru dimana Prabowo justeru bersinar karirnya, Megawati tentu ingat sejarahnya sebagai puteri Sang Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno. Sebagaimana setelah trauma dengan politik otoritarianisme, ia keluar dari kandangnya  atas permintaan arus besar rakyat, tentu Megawati tidak begitu saja abai terhadap realitas arus rakyat yang dalam berbagai survei dan pemberitaan menunjukkan atensi atas pencapresan Jokowi. Megawati tidak akan mengabaikan suara besar rakyat sebagai seorang yang banyak makan asam garam politik dan dikenal memegang teguh prinsipnya. Atas dasar itulah ia mematahkan tudingan pengamat dan sebagian masyarakat yang menilainya feodal dan ambisius. Penuh kewaspadaan dan sikap arif ia mendukung Jokowi demi memenuhi permintaan rakyat. Namun sebagaimana saat berkampanye di Surabaya, Presiden V Republik Indonesia tersebut meminta rakyat membuktikan dukungannya atas Jokowi. Salah satu indikasi sikap kewaspadaannya terhadap arus besar publik yang kadang keliru seperti saat memilih SBY dulu pun ditunjukkannya. Ia menegaskan bahwa ia telah memenuhi aspirasi rakyat sebagai seorang demokrat sejati. Namun tak kalah tegas ia menekankan bahwa Jokowi adalah permintaan rakyat dan tanggungjawab rakyat. Bukan tanggungjawabnya atau keluarga Bung Karno bila kelak Jokowi dinilai tidak memenuhi aspirasi rakyat. Ia hanya dapat memenuhi dan memperjuangkan aspirasi rakyat sebagaimana ia dulu tampil sebagai antitesa kekuasaan Soeharto.

Atas dasar ini jelas, bahwa Megawati berdiri melampaui etika politik yang ditudingkan oleh Prabowo. Suara rakyat bagaimanapun kelak ia akan keliru, tetaplah merupakan nilai etis tertinggi dalam sebuah negara yang menyandarkan diri pada demokrasi. Dengan kata lain Megawati menunjukkanstanding pointyang menjadi pertimbangan utamanya adalah rakyat. Sebuah cara berpikir yang mungkin sulit dipahami oleh Prabowo yang besar dalam tradisi otoritarianisme. Meski tidak sepenuhnya yakin akan kesiapan kader muda yang didampinginya selama sekian tahun, Megawati belajar menghargai rakyat yang dicintainya sembari memastikan Jokowi akan membawa bangsa ini menuju mata hati yang justeru menjadi tagline partai besutan Prabowo, INDONESIA RAYA.

Maka atas dasar kondisi ini, Prabowo mesti mulai belajar bahwa rakyatlah pada akhirnya yang menjadi tuan dalam negara demokrasi. Untuk itu Sang Jenderal yang kerap dikaitkan dengan peristiwa pelanggaran HAM dan penculikan aktivis di era 98 perlu belajar memenangkan rakyat dengan mengalihkan emosinya  yang tidak terarah. Ia perlu memastikan kualitasnya di mata rakyat daripada menjatuhkan kecaman dan serangan pada Jokowi atau Megawati. Atau pada akhirnya bisa saja senjata yang digadang-gadang sejak lama oleh Gerindra untuk mengantisipasi keputusan Megawati, yakni perjanjian Batu Tulis, akan makan tuannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun