Selamat kepada kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kedua kalinya bersama Wakil Presiden K.H Ma'ruf Amin dan jajaran kabinet yang riuh disorot publik akhir-akhir ini. Sebuah era baru dan mengagetkan publik telah datang. Dimana polarisasi publik saat kampanye lalu akibat kerasnya pertarungan politik, kini disulap jadi kolaborasi antar kontestan Pilpres 2019 lalu.
Tidak benar-benar mengagetkan sebenarnya, bila kita sadar bahwa politikus bisa berubah kata dan pandangannya sesuai dinamika yang ada. Hal ini sudah berlangsung lama, sama lamanya dengan penantian publik terhadap pelayanan dan kesejahteraan yang makin membaik.
Hal unik dalam kepemimpinan Joko Widodo yang digambarkan sederhana dan merakyat ini adalah caranya memilih menteri ditengah tegangan politik tingkat tinggi. Pada periode awal lalu, keterwakilan perempuan menjadi sangat dominan selain representasi partai politik dan golongan yang kadang terlihat mendominasi sikap Presiden.
Seperti biasa tradisi pemimpin negara lainnya, pada kabinet periode pertama Joko Widodo juga ada wakil Papua. Wakil yang dijadikan representasi kepedulian negara pada rakyat Papua, yang sebaliknya justeru mengharapkan keadilan lebih dari sekadar keterwakilan. Selain untuk kepentingan menjaga citra di panggung internasional, juga untuk alasan lainnya yang masih berkaitan dengan upaya menjaga keutuhan NKRI.
Selain perwakilan wilayah yang dianggap rawan tanpa perwakilan, juga ada representasi lain yang biasanya muncul. Seperti wakil dari golongan pengusaha atau penguasa diluar pemerintahan dan partai politik. Bisa dilihat sebagaimana JK yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa yang bisa menempatkan beberapa orang terbaiknya dalam kabinet pertama.
Selain itu juga biasanya Presiden melihat keterwakilan ormas besar yang dianggap berpengaruh seperti dari NU dan Muhammadiyah. PGI dan KWI apalagi yang lainnya, umumnya tidak memiliki representasi khusus kecuali bahwa kebetulan mereka seorang Kristen atau Katolik yang profesional atau dari partai.
Dalam beberapa dekade ini, hampir berbagai model representasi telah terlihat. Mulai dari representasi kedaerahan, agama, ideologi dan sebagainya. Semua tak lain demi menjaga keseimbangan kekuasaan dari Presiden yang berkuasa.
Bukan semata untuk mewakili masyarakat Dayak, tapi mewakili kepentingan pemerintah pusat yang akan membawa pindah ibukota negara ke pulaunya masyarakat Dayak. Jangan lupa, setiap itikad baik pembangunan selalu mempunyak dampak yang tak saja baik namun juga berpotensi buruk. Berbagai isu sosial termasuk migrasi yang memarginalkan penduduk asli, isu hutan dan masyarakat adat serta berbagai tantangan sosial lainnya mesti membutuhkan kepiawaian khas masyarakat setempat. Maka agak janggal bila Presiden Joko Widodo yang didukung besar-besaran oleh masyarakat Dayak, tak menimbang pentingnya representasi masyarakat Dayak di kabinetnya kali ini.
Seorang Senator dari Kalimantan Barat dalam sebuah forum pernah mengingatkan koleganya yang berhasrat menuntut pemekaran daerah dengan berbagai dalih. Ia mengingatkan soal pentingnya kajian dan menjernihkan tujuan dari pemekaran daerah agar tak hanya jadi tuntutan politis sesaat.
Ia menyebut bagaimana masyarakat Kalimantan Barat dalam sekian dekade terpinggirkan dan jauh dari keadilan. Namun ia menyebut masyarakat yang diwakili tak pernah mengeluh dan menuntut pemerintah pusat agar dimekarkan. Masyarakat yang diwakilinya, daerah yang diwakilinya dan jadi basis masyarakat Dayak disebut sudah biasa sabar dan menerima.