Perkembangan sosial masyarakat kita yang dipengaruhi oleh teknologi informasi telah memberi kontribusi pada gaya hidup generasi milenial. Segala sesuatu, suka tidak suka telah memaksa secara tidak langsung generasi milenial menentukan standar sosialnya dari lingkungan rumah ke lingkungan pertemanan di sosial media. Termasuk soal gaya hidup dan beberapa kebiasaan lain dalam hidup keseharian hingga urusan bentuk tubuh atau gaya rambut, bisa jadi perbincangan tak mengenakkan bila tak memenuhi selera follower di sosial media.Â
Sekitar 2 bulan lalu saya mencoba sesuatu yang berbeda. Melakukan eksperimen kecil untuk menguji daya tahan diri saat tampil tak seperti biasanya. Dimulai dengan memelihara kumis, sesuatu yang saya hindari sekian lama karena alasan takut terlihat tua dan jelek. Niatnya cuma satu, mengukur seberapa besar kemampuan diri untuk menahan komentar tak sedap atas gaya baru ini. Khususnya dari mereka yang berada di lingkaran sosial media pribadi saya.Â
Sebulan setelah tampak berkumis, kumis yang memang tampak tak rapi seperti kumisnya para pemain film India saya bawa kemana-mana. Termasuk saat bekerja mencari berita dalam tugas harian saya. Beberapa foto terkini pun saya upload di sosial media. Menanti bagaimana respon yang muncul terhadap penampilan baru saya. Seberapa miring tanggapan yang masuk dan seberapa mampu saya akan menerima pandangan hingga bully dari rekan-rekan.Â
Suatu ketika saya liputan di salah satu hotel berbintang yang mengharuskan bertahan dari pagi hingga sore, kesempatan bertemu jejaring narasumber dan melihat reaksi mereka atas penampilan baru saya. Sayang acaranya terlalu panjang untuk ajang pamer kumis. Sesuatu yang paling tidak saya sukai karena dinginnya AC hotel bintang 5 bisa menyiksa orang dengan badan kampung seperti saya. Pernah dua hari liputan di hotel bintang 5 dengan AC yang dinginnya luar biasa, akhirnya harus tumbang sepekan karena demam. Beruntung akhirnya ada KayuPutihAroma yang memiliki aroma Lavender dan Rose. Jadi aman saat bekerja sekaligus eksperimen kumis, tanpa takut disiksa oleh dinginnya AC. Kalau sebelum-sebelumnya, Minyak Kayu Putih Cap Lang itu hanya berani dipakai saat di rumah atau kerokan malam hari, sekarang sudah bisa dipakai sepanjang hari.Â
Saat di hotel beberapa narasumber lama melintas biasa saja. Seakan tak kenal. Saat disapa mereka mikir beberapa detik untuk mendeteksi identitas yang menyapa. Sebagian yang lain langsung akrab menyapa karena biasa mendengar suara saya saat bertanya banyak demi berita. Tak risih juga meski pakai minyak kayu putih aroma saat bertugas, karena aromanya tak lagi mengkhawatirkan. Sembari itu saya sadar, hampir semua agak pangling dan mungkin tak biasa melihat penampilan berkumis saya. Tak ada pujian, meski tak ada yang menjelekkan. Hanya respon standar yang bisa saja sebenarnya ungkapan kebingungan.Â
"Wah, sudah kumisan sekarang ya" begitu kurang lebih respon mereka.Â
Saat memantau di sosial media, respon yang ada tampak lebih terbuka. Beberapa komen yang muncul bisa dikatakan tak ada yang positif mengapresiasi meski tak juga menjelekkan. Mungkin memang karena sudah jelek. Permintaan cukur kumis, komen tampak tua hingga desakan cepat punya anak karena tampak seperti om-om, menghiasai kolom komentar sosial media. Semua direspon dengan tawa karena memang tak ada yang serus menjelekkan.Â
Ketika dalam pertemuan maupun di sosial media ada yang bertanya mengapa sekarang berkumis, saya jujur bicara. Menguji daya tahan saat tampak berbeda dari biasanya, apalagi saat berkumis, kontras dari kebiasaan tampil klimis.Â
Memang sesuatu yang tampak aneh ketika kita tampil berbeda, apalagi berbedanya tak lebih baik dari sebelumnya. Tampak aneh juga kalau mungkin kelihatan lebih baik saat bergaya tapi orang bertanya punya modal darimana. Poinnya, generasi milenial khususnya yang punya sosial media mesti menyadari konsekuensi relasi baru di era teknologi informasi ini. Banyak sekali kita sibuk menilai penampilan orang lain, sebaliknya banyak kali kita ingin tampil dinilai oleh orang lain. Sayangnya tak semua kita siap dinilai tampil buruk, tak juga siap direspon buruk apalagi saat berujung pada bully.Â
Maka disini menjadi penting untuk melihat sisi lain keunikan diri. Menyadari bahwa kita berbeda dan unik, tak ada duanya. Sehingga bila kita percaya Tuhan itu baik dan menciptakan kita baik adanya, maka tak perlu risau dengan apa yang muncul dari pandangan orang lain. Sejauh kita tampil dengan adab yang berlaku maka tak perlu pusing dengan penilaian dan tekanan sosial media. Kita tak harus berubah dan tampil beda dari penampilan fiisik, tetapi perlu belajar untuk beda dari kebanyakan cara berpikir generasi milenial zaman kekinian.Â
Hidup tak harus ikut arus besar. Tak perlu menghabiskan banyak biaya demi gengsi, atau menghabiskan banyak uang mengobati stres hanya karena tekanan sosial yang sulit kita terima. Jadilah kreatif dan berbeda dalam memandang sesuatu sehingga pandangan kita bisa selalu menghadirkan keindahan dari sikap bijaksana. Tak perlu risih dan tertekan dengan apa yang meresponmu dari sosial media dan lingkungan sekitar. Cukup terus mengupayakan yang terbaik bagi diri sendiri tanpa memakai standar orang lain secara berlebih. Terima keunikan diri sendiri dan tampil kreatif merespon apapun yang datang menghampiri kita termasuk berita dan cuitan bernada sumbang. GueBeda, emang beda. Â Itu spirit yang mesti dipegang, tapi juga dimaknai sebagai kebiasaan bersyukur atas diri. Bukan sebaliknya untuk dalih tak mau berkembang lebih.Â