Pemerintah terus mendorong pertumbuhan luar Jawa dengan berbagai cara, salah satunya dengan menciptakan "10 Bali Baru" berupa kawasan wisata yang diharap mendongkrak penerimaan negara. Selain itu tentu saja sebagai salah satu syarat pendukungnya, pemerintahan Jokowi terus mendorong pembangunan infrastruktur di daerah luar Jawa yang disebut sebagai upaya membangun Indonesia sentris, mengganti paradigma lama Jawa Sentris.
Sebagaimana diketahui sektor Pariwisata telah menjadi prioritas nasional dalam RPJM 2015-2019. Dari tahun ke tahun secara bertahap hingga akhir kepemimpinan Jokowi nanti, pembangunan pariwisata di prioritaskan dan diberi target pencapaiannya dengan indikator wisatawan asing berkunjung berjumlah 20 juta, wisatawan nusantara atau pengunjung dalam negeri berjumlah 275 juta orang. Angka yang cukup ambisius namun menarik dilihat dengan jernih.
Sektor pariwisata sendiri kontribusinya terhadap PDB dalam lima tahun terakhir selalu mengalami peningkatan. Kontribusi sektor pariwisata terhadap Devisa dilaporkan sebesar USD7.603,45 juta pada tahun 2010 menjadi USD12.225,89 juta (2015) dan kontribusi terhadap Tenaga Kerja sebesar 4 juta orang tahun 2010 menjadi 12,1 juta orang atau 10,6% dari total tenaga kerja nasional.
Seperti dilansir Setkab pada awal tahun dan dikutip oleh Sindonews.com, pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Diperkirakan hingga 2019 mendatang sektor pariwisata akan menjadi kelompok 4 (empat) sektor penghasil devisa terbesar di Indonesia, yaitu sebesar USD24 Miliar. Angka ini melampaui kontribusi sektor Migas, Batubara dan Minyak Kelapa Sawit yang selama ini menjadi salah satu andalan utama penerimaan negara.
Menyikapi dengan jernih perkembangan ke depan. Ini momennya warga Sumatera Utara khususnya yang memiliki kemampuan investasi kecil hingga besar, perlu menimbang momen. Sebagaimana dilaporkan Kompas, Bandara Silangit yang baru-baru ini dimasuki oleh Batik Air bisa menjadi sinyal awal bahwa kawasan Sumatera Utara khususnya sekitar Danau Toba dianggap menjanjikan di masa depan. Maka siapkan langkah untuk menggapai masa depan di tanah leluhur. Semangat Marsipature Hutana Be (Bahasa Batak Toba yang bermakna Memperbaiki Kampung Halaman Sendiri), yang dulu digaungkan mantan Gubernur Raja Inal Siregar perlu diingat kembaliÂ
Sebagai generasi kekinian atawa yang populer disebut zaman now, tentu harus ada rekontektualisasi makna raja dalam semangat membangun kawasan wisata Danau Toba. Pemahaman konservatif bahwa raja harus dilayani dan diberi upeti mestilah ditinggalkan agar wisata dapat bertumbuh dengan baik. Paradigma baru "Raja yang Melayani" mesti mulai disemai di kalangan milenial Sumatera Utara khususnya yang berada di sekitar kawasan Danau Toba. Dengan demikian, spirit Marsipature Hutana Be mesti diselaraskan dengan apa yang digaungkan oleh Jokowi sendiri yakni revolusi mental.
Tanpa kesiapan sumber daya manusia yang handal, kawasan wisata Danau Toba hanya akan menguntungkan orang lain. Bukan warga atau mereka yang berasal dari sekitar kawasan. Maka perlu generasi milenial yang leluhurnya berasal dari sekitar kawasan Danau Toba, melihat momentum pengembangan wisata ini sebagai ajang mudik membangun kampung halaman. Agar dengan demikian, spirit Marsipature Hutana Be yang beberapa dekade gagal diaktualisasikan, kali ini benar-benar bisa dipastikan menjadi ajang pembangunan masyarakat di kawasan Danau Toba. Bukan ajang cari hepeng investor dari Jawa atau luar negeri saja.
Kalau bisa Mangan di Hutana Be (Cari makan di kampung sendiri) dan Marsipature Hutana Be (Memperbaiki Kampung Sendiri), mengapa harus setengah mati jauh pergi mencari makan di kampung tetangga?
Mejuah-Juah! Horas! Njuah-Njuah!