Mau tidak mau, suka tidak suka, mahasiswa harus mulai memotong tradisi ancaman gombalnya. Fakta bahwa pendemo di Istana bukan ribuan massa harus membuka mata kita. Bahwa sikap hiperbolis beda tipis dengan kebohongan. Potong tradisi yang berasumsi bahwa membesarkan jumlah massa adalah sikap taktis. NO!! Itu berlaku bagi politisi, tetapi bagi mahasiswa yang merupakan kaum intelektual, sikap kritis harus didukung dengan akal yang sama kritisnya. Tanpa disadari praktik gombal yang dekat dengan kebohongan ini telah menggerogoti skenario aksi mahasiswa beberapa waktu terakhir.
Tanpa disadari massa aksi didoktrin secara alamiah dimana sebuah sikap gombal bahkan membual dipandang sebagai praktik normal. Baiklah gerakan mahasiswa hari ini kembali belajar dari aksi mahasiswa tiap generasi serta memahami dengan akal sehat konteks tantangan zaman yang menyertai mereka. Baiklah generasi mahasiswa hari ini terus membela rakyat tanpa ikut-ikutan berorasi layaknya politisi. Tak perlu membesarkan ancaman dan mencoba beratraksi dengan jumlah massa. Belum lagi bila kita mempertanyakan representasi BEM yang ada dalam organisasi ini apakah benar mewakili kata "seluruh".
Sebagai orang yang pernah berada dalam barisan mahasiswa dan beberapa kali turun demo, mungkin saya bukan aktivis dalam frame kalangan aktivis. Saya barangkali juga tidak masuk dalam jajaran intelektual aktor di barisan aktivis. Bahkan mungkin saja saya bisa dituding bodoh, tak merepresentasikan perjuangan aktivis. Setiap orang sah menilainya. Namun belajar dari realitas yang ada, mari kita juga melakukan otokritik sebelum melancarkan kritik.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada rekan-rekan mahasiswa dan yang mengidentifikasi diri sebagai aktivis, mari kita membangun kembali pilar intelektualitas dalam setiap aksi yang membawa nama mahasiswa. Merefleksikan kedalaman makna intelektual itu pada setiap pilihan aksi yang dibangun. Sebab saya percaya seperti yang selalu dinyatakan oleh Soekarno, pada diri pemuda dan mahasiswa kita, sejarah bangsa akan ditentukan. Catatan yang terinspirasi dari jalanan ini tentu saja adalah sebuah kritik, sebagaimana rekan-rekan mahasiswa juga bisa mengkritik Presiden. Bedanya, saya tidak perlu menuntut anda mundur malah mendorong anda sekalian tetap terus maju membawa perubahan.
Sebab saya tahu seperti halnya Presiden bukan tukang sulap, yang bisa merubah nasib ratusan juta rakyat dalam hitungan bulan. Anda pun tentu saja bukan seorang pesulap yang bisa mengubah tradisi gerakan mahasiswa begitu saja. Seperti kata seorang adik aktivis mahasiswa, akal sehat menuntun kita. Bahkan untuk sebuah Skripsi yang berurusan dengan 1 orang plus 1 keluarga saja tidak bisa dijamin selesai dalam hitungan bulan. Evolusi kesadaran akan menuntun anda sekalian dalam proses belajar menjadi seorang pemimpin.
Maka bagi mahasiswa calon pemimpin bangsa kami, Berorasilah dengan nurani kerakyatan dan terus berjuang dalam spirit seorang intelektual yang memegang teguh kejujuran. Sebab seperti slogan pemberantasan korupsi, JUJUR itu HEBAT!
Satu hal terakhir, para calon pemimpin bangsa kami kelak, anda sekalian memang tidak dilahirkan untuk jamuan makan malam istana Presiden tetapi juga tidak untuk di jalanan. Sebab anda mestinya dilahirkan untuk menggunakan intelektualitas sebagai sarana juang kerakyatan.
Salam Juang dan Terus Gelorakan Semangat Perlawanan Pada Ketidakadilan, Pada Ketidakjujuran!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H