Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukuman Mati Demi Supremasi Hukum?

30 April 2015   09:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430360457549479626

[caption id="attachment_380906" align="aligncenter" width="300" caption="Bagi yang memahami arti ditumbalkan. Bagi yang belum paham, semoga tidak lekas menghujat ... "][/caption]

Anda barangkali marah, jengkel dan begitu benci pada praktik peredaran narkoba di Indonesia, saya pun demikian. Sebagian dari kita bahkan kadang sampai menularkan perasaan marah, jengkel dan benci itu pada sesama kita yang menolak praktik hukuman mati. Saking kita merasa bahwa memang pengedar narkoba pantas dihukum mati.

Tetapi apakah anda sudah melihat berita akhir-akhir ini soal Budiman si gembong narkoba yang tetap bergaya di depan kamera meski ketahuan masih membandel di penjara. Meski sudah divonis hukum mati, ia masih bisa tersenyum penuh gaya saat diketahui masih mengelola bisnis narkoba.

Bagi sebagian orang, membaca berita itu akan dijadikan pembenaran bahwa Budiman memang harus dihukum mati. Budiman harusnya diseret pertama kali sebelum 8 orang lain yang sudah di kembalikan ke Maha Pencipta. Tetapi sebentar dan tahan dulu.

Bagi yang pernah mendengar soal Fishbone Diagram atau bentuk analisa lain yang memungkinkan kita melihat sisi berbeda dari sebuah masalah. Bagi yang bisa memahami sisi lain dari arus besar perdebatan. Saya berpendapat bahwa kasus Budiman yang diketahui masih berbisnis narkoba di lapas itu justeru menunjukkan satu fakta lain yang lebih fundamental.

Ini adalah fakta bahwa perdebatan besar soal hukuman mati bukan masalah fundamental bangsa ini. Presiden Jokowi bicara hukuman mati demi supremasi hukum. Sebaliknya, nalar saya yang hanya rakyat ini berbicara sebaliknya. Bangunlah supremasi hukum, maka hukuman mati kemungkinan besar tidak akan terjadi.

Mengapa demikian?

Karena selama hukum itu tidak ditegakkan dari hulu, dari penjaga hukum itu sendiri, maka bukan hanya narkoba dan korupsi yang akan mengisi perdebatan bangsa ini. Bahkan urusan maling sendal di mesjid, anak perkarakan ibu, hingga nenek tua pemungut buah coklat pun bisa jadi pergunjingan nasional. Demikianlah hukum kehilangan rohnya, yaitu keadilan.

Bila supremasi hukum dibangun kembali dari hulu yaitu istana hukum itu sendiri, dari jiwa aparat penegak hukum itu sendiri, maka alirannya akan terasa melegakan. Aparat berdedikasi memberi edukasi dan membangun kesadaran hukum di masyarakat, melawan praktik suap dan membangun integritas dalam menangani perkara, memberi pengayoman sejati semarak slogannya, membangun habitus baru penegakan hukum. BIla ini terjadi, maka setengah dari persoalan hukum negeri ini bisa diurai. Hukum mati pun bisa jauh dari pandangan karena pencegahan kejahatan lebih dominan.

Kita tidak bisa mengutuki banjir di hilir ketika bentang alam dan hutan pengayom kehidupan di hulu sudah ditebang dan berwajah suram. Kita tidak bisa semata-mata menghujat kemacetan kota bila regulasi memungkinkan industri otomototif dibiarkan tumbuh melebihi kapasitas pertumbuhan infrastruktur jalanan kota.

Sekali lagi berita ini menegaskan satu hal yang jauh lebih penting dari semua perdebatan kita tentang hukuman mati. Supremasi hukum dari perancang, pelaksana dan penegak hukum itu sendiri. Lebih dalam, akar masalahnya masih bisa kita gali sendiri ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun