Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Kecil Jum

15 Agustus 2012   01:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13449955331458079667

Juminten berjalan diantara tubuh-tubuh yang terlelap di pinggir jalanan kota. Anak-anak jalanan yang menikmati kedamaian ditengah kerasnya kehidupan. Waktu belum lagi cukup menjelang sahur namun kaki kecilnya masih harus melaju menuju pasar membantu Cak Mahmud untuk berdagang ikan. Tubuh remajanya yang masih lelah menyusuri jalan segera berganti dengan kecekatan yang tak biasa untuk anak seusianya. Itulah sebabnya mengapa cak Mahmud begitu perhatian pada pekerjanya yang telah sebulan bekerja bersamanya. Ia belum lagi tahu banyak soal remaja manis tersebut yang sebulan lalu tiba-tiba memohon pekerjaan padanya di tengah keramaian pasar. Pagi ini Juminten sungguh bersemangat bekerja. Ia berharap dengan bekerja baik, ia bisa membalas budi baik tuannya. Kendati upah hariannya sekadar cukup memberi makan dia, nenek dan 2 adiknya yang masih belia, toh ia tetap bersyukur dan melupakan bahwa ia sudah tidak memiliki orang tua sebagai sandaran keluarga. Kematian yang tragis di tanah perkebunan sawit setahun silam coba ia singkap dari kalutnya pikirannya. Para pelanggan yang datang senantiasa disapa dengan senyum sumringah membuat para pelanggan baru pun betah di lapak sedehana itu. Saat kembali ke rumah, Juminten berjalan melewati gang sempit yang kini menjadi saksi bisu perjalanan hariannya. HIasan bernuansa merah putih sepanjang jalan mengingatkannya pada sejarah kemerdekaan RI yang masih sempat diingatnya saat di bangku sekolah. Ingin rasanya ia memasang bendera-bendera demikian di rumah kecil tempat ia tinggal bersama neneknya yang beranjak menua. Sayang ia tidak cukup punya uang. Juminten hanya menghela nafas sambil tersenyum kecut. Ia masih harus memikirkan banyak hal terutama keperluan dapur untuk ia, nenek dan saudara kecilnya. Maka ia tak mau berharap terlalu banyak untuk bisa memilikinya. Saat malam telah memasuki fasenya, Juminten membereskan dapur kecilnya dan memutuskan sejenak pergi ke Gua Maria yang ada di gereja tempat ia senantiasa berdoa memohon perlindungan untuk keluarga dan arwah kedua orang tuanya. Tampak olehnya beberapa petugas sedang menata area dengan bendera dan pernak pernik kebangsaan menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan. Beberapa yang rusak dibuang di tempat sampah. Juminten berpikir untuk mengambilnya sesaat setelah berdialog dengan Bunda Maria. Maka dengan harapan dan senyum yang terkembang ia melanjutkan niatnya untuk berdoa. “Bunda Maria …

Terima kasih atas hari ini pada Tuhan, boleh mendapat sedikit rejeki

Semoga menjadi berkat bagi kami untuk menjadi lebih baik lagi.

Bunda Maria …

Hari ini dijalanan banyak yang bersiap menyambut kemerdekaan.

Doakan kami agar mampu membawa kemerdekaan ke dalam rumah kami,

Ke dalam hati nenek dan kedua adikku. Amin… “

Beberapa saat Juminten berdoa dan setelah selesai membasuh mukanya ia menuju tempat sampah yang sebelumnya. Ia tak menemukan lagi pernak-pernik dan bendera-bendera dari kertas itu disana. Ia menghela nafas kecewa. Ia terlanjur berharap bisa memasangnya untuk menyambut HUT Kemerdekaan nanti. Langkahnya yang gontai meninggalkan area sebelum akhirnya satpam memanggilnya. “Dik, sedang apa tadi disana?” Ujar satpam tersebut “Berdoa saja pak” Balasnya Juminten seraya memperhatikan petugas satpam tersebut. “Bukan, maksud saya saat berada di tempat sampah tadi” “Ooo .. tidak mengapa Pak. Cuma melihat beberapa bendera yang rusak tadi disana tapi sekarang sudah tidak ada” Mukanya sedikit menunjukkan raut yang memelas. Khawatir diusir oleh pak satpam. Pak satpam hanya terdiam dan tak lagi menyambung pembicaraan. Juminten yang berjalan pulang ditatap lamat-lamat dan hilang ditengah kegelapan lorong jalanan. Selama perjalanan pulang, Juminten ingat beberapa cerita neneknya tentang jaman perang dulu. Itu yang selalu menguatkannya menjalani kehidupan yang sebenarnya tidaklah pantas dijalaninya. Neneknya mengenang bagaimana dulu kakeknya menjadi bagian dari lascar rakyat yang turut berperang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Situasi keamanan dan ekonomi serba sulit, namun setiap orang tegar dan bertahan dalam siksa keadaan. Setiap orang masih berdaya juang untuk merdeka dan meraih hidup yang sejahtera. Juminten paham bahwa Indonesia sudah merdeka puluhan tahun. Banyak orang pun berkata demikian dan Juminten bangga dengan itu. Namun ia juga tengah berjuang membawa kemerdekaan itu masuk ke dalam rumahnya yang kecil. Ia ingin daya juangnya yang kecil mampu membawa kemerdekaan bagi kedua adiknya yang tak jarang menangis di saat tidur malam. Ia tersenyum saat melihat kedua adiknya tertidur pulas dan neneknya yang renta tersenyum menyambutnya. Ia segera memeluk neneknya dan membiarkan diri menikmati kemerdekaannya di pelukan hangat nenek. Juminten berusaha menjaga daya juangnya untuk membawa kemerdekaan masuk lewat pintu atau jendela rumah kecilnya. Ia tidak mengerti kapan, tapi ia tetap memelihara harapan. Juminten percaya pada rahmat Tuhan dan belajar menjaga kepercayaannya melalui doa-doa dan langkah kecilnya.

Ngayogyakarta Hadiningrat, menjelang peringatan hari kemerdekaan 2012 (sebuah refleksi bersama dan didedikasikan untuk Mas Karebet, - )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun