Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tortor, Malaysia, dan Nasionalisme Sempit

20 Juni 2012   09:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:45 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tortor, Batak, Malaysia, dan nasionalisme sempit. Beberapa kata ini menjadi dominan dalam pikiran saya beberapa hari sejak kabar Klaim Malaysia atas Tortor merebak di Media. Awalnya yang banyak menyampaikan pemberitaan adalah situs Merdeka. Beberapa hari kemudian beberapa media lain mulai menurunkan liputan yang sama. Pada banyak status Facebook dan group jejaring sosial lainnya emosi negeri ini sampai meluap dan tak jarang yang meluapkan amarah dengan sumpah serapah. Wajar dan tidak keliru, terlebih karena yang disebut media adalah Malaysia, tetangga kita yang memang getol mencaplok hak kekayaan negeri kita. Masih segar dalam ingatan soal Sipadan Ligitan dan beberapa hasil kebudayaan lainnya, mulai tarian, lagu, dan makanan tak luput dari usikan Malaysia. Maklum saja, Negara tersebut memang sedang getol membangun branding pariwisatanya karena ada kegamanangan yang akut akibat ketiadaan kekhasan Budaya Nasional yang dimiliki negeri yang kerap disebut serumpun itu.

WAJARKAH?

Apakah sebuah amarah yang meluap di depan publik terhadap kelancangan Malaysia itu wajar? Tentu saja hal tindakan ini wajar sebagai ekspresi kolektif masyarakat. Sumpah serapah, ancaman sweeping, dan makian terhadap Malaysia? Masih dapat diterima akal setelah sekian banyak kenakalan dan tindakan melecehkan yang dilakukan tuan dan puan dari negeri tetangga. Namun bila kita melihat konteks perlindungan, tanggungjawab pemeliharaan dan aktualisasi kecintaan negeri kita sendiri terhadap produk budaya lokalnya dan membandingkannya dengan amarah kita pada Malaysia, sebenarnya barangkali kita tengah sakit akut sebagai sebuah bangsa. Semua amarah yang ditimbulkan oleh Malaysia sejatinya adalah ungkapan frustasi dan depresi social masyarakat kita yang sehari-hari disuguhi pemberitaan mengenai korupsi, kekerasan, kekeringan prestasi olahraga dan persoalan kemiskinan yang menjadi-jadi.

Beberapa waktu lalu saya merespon sebuah status seorang rekan yang tampaknya sedang menunjukkan kemarahannya pada Malaysia dengan menuding secara tendensius tentang kehebatannya mendidik rakyatnya melakukan tindak kekerasan, plagiasi, dan bersikap acuh tak acuh. Saya mencoba memberikan cara pandang lain yang poinnya adalah mengajak melakukan otokritik selain mengkritisi tindakan kurang ajar Malaysia. Bicara soal kekerasan, plagiasi, dan bersikap acuh tak acuh, saya sering bertanya bukankah itu juga telah menjadi watak masyarakat kita? Cobalah lihat sekitar kita dan liputan media sehari-hari. Bagi saya, naïf rasanya bila kita selalu marah pada Maling disaat kita sendiri tidak pernah waspada dan menjaga harta benda di rumah kita. Apalagi setelah sekian peristiwa kemalingan kita masih saja tidak melakukan apa-apa dan hanya mencak-mencak tanpa melakukan proteksi. Bukankah lebih arif bila kita mempertanyakan keseriusan pemerintah kita sendiri yang saat-saat ini sibuk mengurusi kepentingan partainya yang sedang bermasalah atau bila perlu melakukan kecaman social atas buruknya penyelenggaraan Negara dan perlindungannya atas kebudayaan kita? Melakukan konsolidasasi sosial dan budaya untuk menghidupkan kebudayaan kita sendiri.

ANOMALI

Tulisan saya direspon sama seperti ketusnya yang bersangkutan terhadap Malaysia. Pandangan saya dinilai merendahkan bangsa sendiri dan saya dikutbahi penuh semangat. Lebih istimewa lagi, respon tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Luar biasa. Poin pernyataan dalam bahasa Inggris itu mengajak saya mengatakan I LOVE INDONESIA. Saya tersenyum dan membatin, bukankah lebih baik saya jawab dengan “YA, TENTU SAJA SAYA CINTA INDONESIA, termasuk BAHASA INDONESIA sebagai produk dan proses kebudayaan yang luar biasa menarik jalan sejarah lahirnya pasca kemerdekaan”. Saya tidak lagi merespon tulisan tersebut dan dalam perjalanan saya yang sedang observasi untuk Kuliah Lapangan di Bantul saya merefleksikan ulang ke-INDONESIA-an saya.

Saya berada di Sanggar Arjuna yang akan menjadi lokasi Kuliah Lapangan saya. Sebuah sanggar yang memproduksi berbagai bentuk kerajinan Batik berupa Wayang, Sandal, Caping, Moneng, dan produk kayu lainnya. Sebuah tantangan muncul, karena selain belajar dan membantu usaha ekonomi sanggar tersebut, sesungguhnya saya sadar tengah ditantang mengembangkan kebudayaan nasional karena produk-produk indah yang ada disana adalah salah satu kebudayaan kebanggaan bangsa yakni batik. Terlintas beberapa ide liar termasuk membuat batik dengan motif kain nusantara lainnya. Terpikir pula membuat patung batik dengan motif mandarin untuk didiskusikan produknya dengan mitra Kuliah Lapangan kami yang kebetulan akan tiba dari Taiwan dan bersama kami disana selama dua pekan.

Dalam perjalanan pulang dari Pajangan, Bantul, kembali menuju Jogja hujan mendera. Berteduh sesaat perjalanan kami lanjutkan dan kebetulan melintas melewati Jl. Wirobrajan mengarah melintasi Sarkem yang fenomenal ke arah Kota Baru dan selanjutnya menuju Sanata Dharma. Berhenti setelah kemacetan dan lampu merah kami melaju saat tanda hijau kembali menyala. Baru puluhan meter, macet total menjebak karena pada saat yang sama dari arah Jl. Mangkubumi kendaraan tetap melaju kendati lampu menyala merah. Suasana gerimis dan kemacetan akibat kekonyolan, perilaku tidak tertib dan egois membuatku ingat kembali tentang sikap reaktif kebanyakan orang terhadap Malaysia. Bukankah perilaku berlalu lintas seperti yang sedang saya saksikan sendiri di depan mata ini juga adalah bukti bahwa kebanggaan sebagai bangsa itu masih sebuah euphoria dan wacana kosong belaka. Sebab faktanya banyak kali kita sendiri tidak melawan budaya kotor negeri ini dengan budaya tertib, budaya toleran,budaya kreatif, dan budaya bertanggungjawab yang tampak dari perilaku kita.

INSPIRASI BUDAYA INDONESIA

Bangga dan terinspirasi rasanya melihat Viky Sianipar, Butet dan Djaduk, Anne Avantie, Oscar Lawalata, Kill The DJ dan Jogja Hip Hop Foundation serta beberapa seniman lainnya yang tanpa banyak protes terhadap Malaysia terus bekerja untuk keharuman nama bangsa terlebih untuk menjaga entitas budayanya. Maka saya berniat memanfaatkan momen bersama beberapa rekan dari Taiwan nanti sebagai momen belajar anak bangsa. Ingin juga menyerap sikap percaya diri dan juga budaya disiplin mereka yang telah membuat Taiwan Berjaya dan kerap muncul bahkan lewat sendok dan perabotan rumah tangga kita. Besar harapan bisa menjadi insan Indonesia yang mencintai negeri ini lewat karya dan bukan nasionalisme sempit. Pertanyaan terakhir yang menyeruak dalam benak saya adalah pernyataan teman saya yang gemar berbahasa Inggris tadi. Hanya saja saya tidak bertanya apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia, melainkan:

APALAGI YANG AKAN SAYA LAKUKAN UNTUK MEMBUKTIKAN CINTA SAYA PADA INDONESIA?

Ngayogyakarta Hadiningrat, masih KOTA BUDAYA …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun