Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan, Paus Fransiskus & Dunia Baru

10 Maret 2014   05:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal menarik tentang perempuan yang barangkali bisa kita lihat pada hari ini sebagai refleksi hari perempuan adalah kisah tentang Ibu Elisabeth, ibu dari saudari kita Ade Sara, korban pembunuhan sadis. Banyak media online mengulas tentang sikapnya di masa-masa sulit di hadapan pusara puterinya yang tewas akibat kekejaman pembunuhan yang dilakukan mantan pacar dan teman sekolahnya.

Terkait pembunuhan puterinya (www.kompas.com, 07 Maret 2014), Elisabeth menaruh kepercayaan pada proses hukum. “Saya percaya setelah proses hukum dilaksanakan, Hafitd dan Assyifa jadi anak yang baik. Saya yakin mereka anak baik,” ujar Elisabeth setelah sebelumnya mengatakan memaafkan mereka. Tentu saja banyak yang bertanya, bagaimana mungkin perempuan yang melahirkan dan membesarkan puteri semata wayangnya ini begitu sabar. Penulis pun tidak mampu menjawabnya karena kesulitan membayangkan perasaan Ibu Elisabeth. Kendati demikian pernyataan itu merupakan oase atas kerasnya hidup di kota besar dan percik kesadaran yang menggelitik.

Barangkali agak tendensius bila penulis menyakini bahwa kekuatan sikap serta kesabaran seorang Ibu seperti Elisabeth berasal dari seluruh nilai yang dihidupinya sebagai seorang pengikut Kristus. Sementara, setidaknya itu yang dapat penulis tangkap dari apa yang tersirat dari sebuah inspirasi damai yang diutarakannya pada pusara puteri kesayangannya. Sebuah ajakan memaafkan sekaligus menaruh kepercayaan pada proses hukum untuk member keadilan bagi puterinya dan juga bagi para pelaku.

Dalam konteks memaafkan yang ditunjukkan perempuan hebat ini, kita perlu pahami bahwa maaf tidak selalu sama dengan melupakan akar dari pemberian maaf tersebut. Maaf merupakan sebuah cara dan sikap batin dalam menerima realitas yang tidak lagi dapat ditolak karena sudah kadung terjadi. Sekaligus ia merupakan luapan doa agar realitas itu memberi makna dan rahmat bagi yang mengalaminya. Elisabeth dengan luar biasa menunjukkan kualitas dirinya sebagai perempuan dan saksi iman, meski tampak melawan arus sikap mainstream masyarakat dunia. Ia mewartakan paradigma yang kurang lebih sama seperti dilakukan oleh Beato Jhon Paul II saat bertahta dan coba dibunuh oleh Agca di lapangan St. Petrus, Vatican. Paradigma yang berasal dari satu sumber iman yakni Kristus yang tersalib.

Pada konteks hari perempuan, refleksi kita beranjak dari cara sederhana namun istimewa seperti yang dilakukan Elisabeth. Bagaimana perempuan khususnya para ibu mampu menjadi inspirasi sekaligus agen utama perjuangan dalam membangun tatanan dunia yang adil dan damai. Para perempuan ditantang untuk terus bergerak dalam perjuangannya tanpa melupakan keutamaan dirinya sebagai insan yang secara kodrati cinta keadilan dan perdamaian. Sebab dari para rahim para perempuan inilah kehidupan bertumbuh. Pada kedamaian rahim itulah kemanusiaan dibentuk meskikehidupan asing di dunia mengubah kedamaian itu menjadi ragam bentuk kekerasan.

Pada salah satu audiensi umum di Vatican yang rutin digelar (www.katolisitas.org, 11 April 2013), Paus Fransiskus selaku pemimpin Gereja Katolik bicara tentang perempuan. Menurutnya dalam katakese tersebut, perempuan tidak boleh diabaikan sebagai saksi awal kebangkitan Kristus. Perempuan menjadi saksi yang penuh keyakinan mewartakan kebenaran itu pada banyak orang. Tidak menyimpan warta untuk dirinya sendiri. Tradisi dan hukum Yahudi pada masa itulah yang membuat peran besar perempuan dalam sejarah kebangkitan Kristus menjadi kabur. Sebab keyakinan masyarakat Yahudi masa itu, perempuan dan anak-anak diragukan kesaksiannya dalam sebuah perkara.

Bapa Suci Fransiskus berujar dalam momen tersebut:

“Hal ini juga membawa kita untuk merenungkan bagaimana perempuan, dalam Gereja dan dalam perjalanan iman, telah dan pada hari ini masih memiliki peran yang unik dalam membukakan pintu bagi Tuhan, dalam mengikuti Dia dan menyampaikan wajahNya, karena melihat dengan iman selalu memerlukan tatapan kasih, yang sederhana dan mendalam. Hal ini lebih sulit bagi para rasul dan murid-murid untuk percaya: tidak untuk wanita. Petrus berlari ke makam, namun berhenti di depan makam kosong itu. Thomas butuh menyentuh luka pada tubuh Yesus dengan tangannya sendiri. Bahkan dalam perjalanan iman kita, sangatlah penting untuk mengetahui dan merasakan bahwa Allah mengasihi kita, tidak perlu takut untuk mencintainya: iman diakui dengan mulut dan dengan hati, dengan kata-kata dan dengan cinta“

Bapa Suci secara lugas menegaskan keutamaan perempuan dalam sejarah kebangkitan yang dengan mantap menjadi saksi. Hal yang tidak dapat dengan mudah dilakukan oleh para pria yang setiap saat memiliki kesempatan bersama Kristus dalam karya pewartaan. Lebih dari itu sebagai sebuah terobosan dalam kepemimpinannya, Paus Fransiskus mulai mengakomodir secara bijaksana peran-peran besar perempuan. Khususnya peran dalam melakukan revolusi senyap memperbaiki insitusi gereja di Vatican yang tengah mengalami tantangan besar pasca terkuaknya berbagai skandal di Bank Vatican serta isu-isu lain yang merusak integritas pelayanan gereja.

Salah satu hal menarik lainnya yang barangkali dapat kita renungkan adalah keberpihakan terhadap perempuan yang menjadi korban ketidakadilan. Seperti dialami seorang perempuan Italia, Anna Romano,  yang setelah hamil mengetahui bahwa pacarnya sebenarnya telah menikah. Perempuan itu dipaksa melakukan aborsi oleh si kekasih yang telah menipunya habis-habisan. Namun dalam ketidakberdayaannya perempuan ini masih teguh untuk tidak mengorbankan kehidupan anak itu lewat aborsi. Kendati memilih untuk membiarkan si jabang bayi hidup, ia mengalami tekanan mental karena pada lazimnya anak di luar nikah tidak ada imam Katolik yang mau membabtis anaknya.

Paus Fransiskus yang mengetahui keberanian perempuan yang tidak berdaya itu untuk mempertahankan kehidupan bayinya, secara khusus menelepon. Meneguhkan perempuan tersebut secara pribadi dan bahkan menyatakan akan membabtis si bayi kelak bila tidak ada yang mau melakukannya. Sebuah sikap luar biasa yang sulit ditemukan pada zaman ini namun sesungguhnya telah dilakukan oleh seorang Yesus pada ribuan tahun lalu. Sikap inilah yang kemudian secara istimewa diteladani dan dikembangkan oleh pribadi istimewa, Paus Fransiskus selaku pemimpin umat Katolik seluruh dunia yang berjumlah sekitar 1 milyar pengikut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun