"Barang siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia terlebih dahulu melempar batu kepada perempuan ini" - Sang Guru
Saudari kami Florence Sihombing. Teriring salam dan sebagian rasa kecewa atas apa yang anda tulis di media sosial. Perkenankan saya menyampaikan doa saya bagi kesehatan anda.
Sebagai orang Indonesia yang belajar di Yogyakarta, saya merasa tersinggung atas ucapan anda. Oleh karena ke-Indonesia-an kita yang sama, saya kecewa anda memandang rendah kota Yogyakarta. Kota yang saya anggap rumah sendiri, meski pun banyak yang menganggap saya termasuk anda sebagai PENDATANG.
Saudari kami Flo, anda sedang dipaksa situasi untuk belajar menjadi bijaksana saat ini. Itu pilihan yang ada dari tiap konsekuensi kegagalan saudariku mengendalikan diri ditengah rumitnya jalanan kota sejak BBM dibuat langka. Hadapi dengan tegar dan berani bertanggungjawab atas konsekuensi tindakan anda. Saya yakin hidup keras yang saudari jalani akan membantu untuk menjalani manisnya kado sebagian warga Yogyakarta bagi anda.
Meski kecewa atas sikap anda, saya mengucap terima kasih pada saudariku karena secara tidak langsung telah membuka kesadaran baru bagi kita bersama. Kesadaran akan masih banyaknya yang belum jeli menggunakan sosial media termasuk ada yang saking jelinya dengan sosial media sampai lupa pada realita BBM yang semakin langka.
Terima kasih telah membuka fakta bahwa masih ada yang merasa kota dan budayanya lebih adiluhung ketimbang kota asal dan budaya mereka yang disebut PENDATANG. Fakta ini adalah sebuah gejala mendasar tentang rapuhnya identitas sebagai INDONESIA. Lewat kejadian ini, saya makin berani menggugat ke-Indonesia-an kita saat banyak yang muncul dengan lantang menghina balik anda dengan sembarangan menyeret asal-usul etnis dan kota leluhur anda.
Saya akhirnya termenung menyimak lini masa saat ada yang seakan memandang bahwa anda adalah representasi kebudayaan salah satu etnis di Sumatera Utara. Membalas sama dengan hina lewat berbagai cara serta secara tidak sadar menempatkan diri mereka lebih tinggi daripada ras lainnya. Munculnya gejala ini sejatinya sudah berlangsung lama dan kian terbuka dengan kecerobohan anda yang sekaligus membuka tabir persoalan Indonesia.
Atas itu perkenankan dalam surat pada anda dan mereka sedulur yang mengaku warga Yogyakarta, saya menghaturkan terima kasih telah boleh menambah rangkaian pola kerapuhan identitas Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Setidaknya kita akhirnya menangkapnya sebagai peringatan untuk mulai mempertanyakan kembali makna menjadi satu bangsa Indonesia.
Jadi, terima kasih pula para sedulur yang mengaku sebagai orang Jogja dan sangat menjaga adiluhung kebudayaannya melebihi rasa hormatnya pada budaya INDONESIA yang berasal dari label suku berbeda. Meski setahu saya, Jogja pun Istimewa karena diterima dan diakui oleh berbagai suku bangsa lain yang hidup bersamanya. Ia menjadi istimewa karena dihadapkan pada eksistensi suku bangsa lainnya yang membentuk INDONESIA. Tanpa itu saya kira Jogja hanyalah Istimewa bagi dirinya sendiri. Artinya sama sekali tidak istimewa bagi INDONESIA di luar Jogja.
Bila para sedulur ada yang mengaku warga Jogja namun menyentil ras atau identitas kota lainnya untuk menempatkan kebudayaan atau kotanya agar dianggap lebih adiluhung, saya kira mereka sejatinya anda barulah sebagai warga Jogja yang belum lagi tuntas ke-INDONESIA-annya.