Tulisan ini bukan tentang buku Pak CT si anak singkong yang memberi banyak inspirasi bagi kita, khususnya yang sedang merintis usahanya. Anak singkong di sini adalah petani-petani singkong yang sekarang ini menikmati keuntungan besar dari berkebun singkong. Mengapa tidak, singkong yang dulunya dipandang sebelah mata karena bernilai ekonomi rendah sekarang berbalik menjadi komoditas elite dengan potensi ekonomi luar biasa yang dicari banyak orang. Hal ini bukan berlebihan karena saat ini bukan hanya petani gurem lagi yang mau nanam singkong, namun banyak investor yang berbondong-bondong menginvestasikan uangnya untuk menanam singkong, bahkan dari perusahaan-perusahaan luar seperti Korea Selatan, Hong Kong, dan China. Singkong, memang menjadi komoditas unggulan dan strategis saat ini dan kedepannya selama manusia membutuhkan pangan dan energi. Sebagai pangan, singkong diolah menjadi tepung tapioka dan masih banyak industri/wirausaha yang saat ini mengembangkan produk berbahan dasar singkong. Sebagai energi, saat ini sangat booming pengembangan singkong sebagai bioetanol. Maka tidak heran ke depannya, singkong akan menjadi 'rebutan' oleh pabrik makanan dan pabrik bioetanol. Dari sisi ekonomi, berkebun singkong memang tidak kalah dengan berkebun sawit. Berdasarkan pengalaman sendiri, sebagai gambaran di wilayah Jawa Barat, budidaya singkong 1 ha secara intensif membutuhkan biaya sebesar 7-8 juta/satu siklus tanam (termasuk biaya sewa lahan Rp 3 juta/ha). Penggunaan bibit hibrida dan dengan perawatan yang baik termasuk pemupukan dan pengairan yang tepat, maka dalam 1 pohon dapat menghasilkan 4-5 kg bahkan lebih. Kebun singkong 1 ha dengan jarak tanam 1x1 m mempunyai jumlah populasi sebanyak 10.000 pohon. Jika tanaman yang menghasilkan (dikurangi mortalitas 10 %) adalah 9.000 pohon, maka produktivitas per ha adalah 36-45 ton. Dengan asumsi harga saat ini Rp 1.000/kg (panen sendiri oleh pembeli) maka hasil penjualan adalah 36-45 juta atau keuntungan bersih berkisar 28-38 juta/ha untuk selang waktu 9 bulan. Jadi tidak salah, jika ada beberapa teman seangkatan yang sekarang bekerja sebagai pegawai kantoran yang sangat tertarik dan berniat menginvestasikan sebagian gajinya untuk membuka kebun singkong bersama saya. Katanya sih untuk modal nikah tahun depan (bertambah lagi anak sing Kong,he..) Singkong sudah bertransformasi dari komoditas kelas bawah menjadi komoditas elite yang dilirik banyak orang. Semoga singkong yang naik kelas juga diikuti oleh petani kita. Sehingga petani secara keseluruhan menjadi lebih sejahtera serta terpandang dan mudah-mudahan berdampak pada minat calon mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di fakultas pertanian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H