oleh :
Achmad faizal
“banyak orang lebih suka mengkonsumsi ‘tanda’ daripada nilai guna
sebuah barang – jean baudrillard”
Pernahkah kita bertanya, mengapa akhir-akhir ini atau dalam satu decade terakhir ini tempat makan serupa KFC, McDonalds, J.co, starbucks, Fireflies Longue atau tempat sejenisnya sering di penuhi oleh kalangan remaja/anak muda?.
Pernahkah kita bertanya mengapa anak muda kekinian lebih senang menggunakan mobil pribadi ke kampus, ke sekolah atau tempat lainnya ?
Pernahkah kita bertanya mengapa anak muda sekarang terutama wanita lebih condong menggunakan handphone sejuta umat bermerk I-Phone ?
Masyarakat modern atau masyarakat kekinian di asumsikan sebagai masyarakat yang up to date, tidak gaptek, fashionable, serta penggunaan segala perangkat teknologi yang menghiasi kesehariannya. Konsekuensi dalam modernisasi adalah rasionalisasi dan diferensiasi. Rasionalisasi dan diferensiasi terjadi dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari rasionalisasi bidang pekerjaan hingga diferensiasi dalam hal konsumsi.
Dalam satu dekade terakhir ini kota-kota metropolitan khususnya Makassar mengalami pertumbuhan yang begitu pesat ; munculnya gedung gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, tempat karoekean, mall, restoran cepat saji (fast food) dan sejenisnya yang mengafirmasikan bahwa eksistensi kapitalis telah menguasai makassar.
Yang paling menarik perhatian kita adalah restoran cepat saji (fast food) serupa KFC, Mcdonalds, J.co, Starbucks atau tempat sejenisnya yang sering menjadi tempat persinggahan kawula muda. Secara semiotik, tempat tersebut menyimpan tanda atau simbol yang memiliki makna kemewahan, esklusifitas, highclass. Sehingga ketika komoditas tersebut di konsumsi maka akan mampu merekonstruksi status sosial seseorang - mampu menunjukkan siapa seseorang.
Begitupun dengan penggunaan gadget sejuta umat – I phone, di balik barang tersebut menyimpan tanda atau simbol yang jua bermakna (highclass, kemewahan serta esklusifitas) yang ketika seseorang mengkonsumsi (menggunakan) barang tersebut maka mampu merekonstruksi – membentuk status sosial seseorang.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah para konsumen tersebut sadar akan nilai guna barang atau komoditas tersebut ? atau hanya sekedar konsumsi tanda/simbol ( merk, harga, tempat, suasana, kepopuleran dst ) ?
Secara tidak sadar banyak konsumen yang mengkonsumsi sebuah barang atau komoditas tersebut hanya sekedar kenyang dari sisi tanda atau simbol semata tetapi secara esensi – nilai guna suatu barang yang di dapatkan hanya sedikit bahkan tidak mendapatkan apa apa.
Jika kita membandingkan minum kopi di warkop dengan minum kopi di Starbucks atau Bangi Kopitiam maka tentu dari segi simbol atau tanda (tempat, suasana, pencahayaan, tata ruang, tata letak) lebih eksklusif, lebih mewah di bandingkan dengan di warkop biasa , tetapi dari sisi nilai guna (esensi) belum tentu kalah.
Sebut saja warkop Dg.Sija hanya dengan harga Rp 8.000 kita sudah bisa menyeduh secangkir kopi (kalo mau pakai susu, tambah 2 ribu) di tambah free Wifi serta pelayannya yang lulus kriteria calon istri sholehah, tentu tidak sebanding dengan nilai guna yang di dapatkan di Starbucks atau Bangi Kopitiam.
Sama halnya ketika kita membandingkan konsumsi ayam di KFC dengan konsumsi ayam di warung pinggir jalan. Secara tata ruang, lighting, suasana (tanda/symbol) di KFC memang lebih unggul di bandingkan dengan ayam di warung pinggir jalan, tetapi secara nilai guna tentunya warung ayam di pinggir jalan tidak kalah bahkan lebih unggul.
Rasionalitas konsumsi dalam sistem masyarakat konsumsi telah jauh berubah, karena saat ini masyarakat membeli barang bukan sebagai pemenuhan kebutuhan (needs), namun sebagai pemenuhan hasrat (desire).
Inilah sebagai bentuk refleksi gengsi sosial remaja- anak muda kekinian yang mewujud kepada pemilihan tempat makan (KFC, McDonalds, J.co) fashion yang di pakai (distro), gadget yang di gunakan (I-Phone), transportasi (mobil) dan seterusnya.
Dengan meminjam konsep Puang Karl Marx mengenai ‘kesadaran palsu’ yang sepertinya layak di tujukan kepada mereka-mereka yang mengkonsumsi barang (komoditas) tersebut terutama untuk kalangan menengah ke bawah. Kesadaran palsu yang di maksud adalah ketika seseorang seolah olah merasa mampu untuk mengkonsumsi sebuah barang (komoditas) dengan harga mahal sedangkan faktualnya secara ekonomi mereka miskin maka inilah yang di sebut dengan kesadaran palsu.
Dengan mengaminkan statement mbah Bob Sadino yang menyatakan bahwa “bergaya lah sesuai isi dompet mu”, artinya bahwa jangan hanya karena rasa gengsi sosial kita lantas memaksakan untuk mengkonsumsi komoditas yang tidak mampu kita jangkau secara ekonomi dan kalaupun kita mampu, toh sampai kapan kita mau diperdaya (di bodohi) oleh tangan-tangan kapitalis. So, Over all, this is your choice, whether you are just consume sign/symbol , or to consume the use value - essential of goods
Wallahu a’lam
Martono, Nanang. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial (Persfektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial.Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H