ETIKA POLITIK
Dimulai pada awal kemerdekaan yakni di masa orde lama kemudian masa orde baru hingga datangnya era reformasi pada tahun 1998 hingga bergulir sampai dengan saat ini. Seiring dengan perubahan masa maka sistem perpolitikan di Indonesia pun berubah. Inilah penyebab tatanan kehidupan politik di Indonesia menjadi sangat kompleks.
Indonesia kini sedang di masa transisi dimana dulunya menggunakan sistem politik yang mengarah ke otoriter, sedangkan sekarang lebih mengarah kepada demokrasi. Namun pada kenyataannya dasar tatanan kehidupan politik yang demokrasi di Indonesia masih belum mencerminkan asas maupun nilai yang terkandung di dalam tatanan perpolitikan demokrasi. Asas legalitas etika politik termuat di dalam TAP MPR NO.IV TAHUN 2001 TENTANG ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA.
"Menurut Frans Magnus Suseno Bahwa Etika politik memberikan pedoman, orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang ingin menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat manusia".
Sikap, norma, ataupun tingkah laku itu sangat berkaitan dengan etika yang pada dasar fundamentalnya hanya dimiliki oleh manusia. Bentuk penyimpangan etika politik dapat dilihat dalam kehidupan nyata dunia politik yang terjadi sekarang. Seperti halnya para elite politik yang masih belum ada kesadaran atau bahkan menyadari bahwa, sikap atau etika dalam berpolitik yang masih bertentangan dengan norma dan etika politik, baik dipandang secara normatif maupun dipandang secara regulasi atau aturan.
Contoh kasus yang mencerminkan tentang pelanggaran etika politik di Indonesia sangat banyak, salah satunya pelanggaran etika politik dalam legitimasi hukum. Para elite politik yang merasa memiliki kekuasaan dapat seenaknya melakukan apa pun termasuk dalam menghalalkan segala cara apa pun demi mewujudkan kepentingan pribadinya.
Pelanggaran dalam bentuk legitimasi hukum dapat dilihat di dalam kontes pemilihan umum pada pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, pemilihan umum dilaksanakan secara eksklusif, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun yang menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah para aktor yang terlibat dalam kontes pemilihan umum tersebut dapat bersikap sebagaimana pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 tersebut?
Kenyataannya hampir sebagian besar para aktor politik hanya menginginkan sebuah kekuasaan jabatan dan reputasi saja. Para elite politik tersebut yang selalu mengumbar janji-janji manis bahkan sampai dengan tindakan Money Politic yang merupakan tindakan tidak jujur dan tidak bermoral, karena rakyat yang dipengaruhi jadinya tidak mempunyai dasar subyektif dalam menentukan hak suara memilih dalam politik pastinya serta tindakan tersebut melanggar sebuah etika politik, karena hal ini yang hanya semata-mata untuk memikat hati rakyat pada saat menjelang waktu pemilihan umum dilaksanakan.
Terbukti sebuah pelanggaran etika politik di antaranya banyaknya pemangku jabatan pemerintah ataupun wakil rakyat yang terlibat dalam kasus korupsi.Â
Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya dana yang mereka keluarkan di saat membeli suara rakyat, yang pada akhirnya berdampak ketika mereka berhasil mendapatkan kekuasaan jabatan yang mereka inginkan itu cenderung hanya memanfaatkan posisi kekuasaannya secara negatif karena itu mereka hanya ingin mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan pada saat kampanye.
Jadi dapat disimpulkan bahwa banyak dari wakil rakyat atau oknum politik yang menyalah gunakan posisi jabatannya hanya sekedar untuk kepentingan pribadi serta mulainya kehilangan jati diri sebagai seorang wakil rakyat yang seharusnya bisa menjadi aspirasi rakyat, menampung keluh kesah rakyat sampai dengan mencapai kesejahteraan rakyat.Â