Saat pandemik seperti ini sangat mudah bagi kita untuk menjadi pribadi yang mementingkan diri sendiri dibanding keselamatan orang lain. Bagaimana tidak, sebuah pandemic sedang merebak di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.Â
Kecemasan akan habisnya persediaan barang-barang dan terjadinya perilaku konsumtif tak terkendali yang muncul secara tiba-tiba membuat banyak orang hampir tidak memikirkan keadaan orang di sebelahnya. Sempat terlintas di benak saya, mungkin ini akan mendorong orang untuk saling melupakan satu sama lain. Beruntung, praduga saya menjadi salah. Banyak orang akhirnya meniru perilaku positif yang ditularkan oleh orang lain, seperti mengadakan pengumpulan donasi, pembagian masker gratis, pembagian sembako dan lain-lain. Â
Dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya saat pandemi terjadi, kita tidak terlatih untuk dapat menempatkan diri di keadaan orang lain, "bagaimana rasanya jika saya menjadi dirinya dan menanggung kesedihannya ?". Kita lebih cenderung untuk melihat sisi kehidupan orang yang terlihat bahagia dibanding diri kita. Sedangkan, kita lupa akan penderitaan yang mungkin pernah orang lain lewati. Kita pun kerap menutup mata, ada orang lain yang hidupnya lebih kurang dari kita. Lalu apakah empati itu?Â
Menurut Wilson, et al. 1999 Empati adalah reaksi emosi dalam situasi tertentu. Wilson, et al juga menegaskan bahwa empati adalah trait atau karakteristik kepribadian yang lebih stabil. Empati merupakan keterampilan hidup yang penting dimiliki oleh agar seseorang terhubung dengan orang lainnya. Lalu, bagaimana seseorang mendapatkan kemampuan berempati ?
Sikap empati ini merupakan sikap social yang akan sangat membantu anak dalam membangun relasi dengan orang lain, membantu anak melihat citra diri dengan baik, membantu anak melihat bahwa setiap hal merupakan proses yang harus dilewati secara bertahap, bahwa sesuatu ada karena diusahakan, oleh karena itu penting bagi anak untuk belajar sikap pelayanan dalam keluarga.
Sesuatu yang kadang kita anggap remeh ketika tumbuh kembang anak sedang berlangsung, minat dan bakat yang harus tetap diasah bersamaan dengan kemampuan anak untuk tetap terhubung dengan dunia sekitarnya melalui kemampuan social yang terus menerus dikembangkan.
Perkembangan empati dimulai saat sejak anak baru lahir sampai ia beranjak dewasa. Pada masa anak-anak, empati dimulai dari respon yang mereka berikan terhadap keinginan orang lain, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan benar dan salah. Pada usia sekolah dasar anak mulai memahami maksud ucapa orang lain. Oleh karena itu, kemampuan berempati pada anak akan mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak. Hal yang sama sangat penting ia dapatkan dari keluarga sebagai lingkungan pertama yang dikenalinya.Â
Lingkungan berikutnya ialah lingkup teman sebayanya, di masa anak bermain inilah ia akan menemukan perbedaan orang lain dan dirinya. Ia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil seperti, apakah boleh makan permen saat mata pelajaran sedang berlangsung ?, apakah boleh menyontek dengan teman sebangku ?, apakah boleh membantu teman yang sedah kesusahan mengerjakan tugas sekolah ? dan lain sebagainya.Â
Beberapa hal penyebab kurangnya empati pada anak  yaitu, a) adanya ancaman atau hukuman fisik berlebihan (Clarke 1984), penolakan orang tua kepada anak (Kestenbaum, Farber, & Sroufe 1989), anak-anak yang melihat ibunya sering mengalami kekerasan oleh ayah (Hinchey & Gavelek 1982), hadiah atau pujian yang berlebihan (Kohn, 1991). Lalu apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan empati sejak usia dini?Â
Beberapa penelitian menemukan beberapa faktor yang dapat meningkatkan empati anak dimulai dari lingkungan keluarga yakni:a) ibu yang responsif, tidak gampang memberi hukuman dan tidak otoriter (Kestenbaum, Farber, & Sroufe, 1989), b) mau mendengarkan penjelasan anak dan mempertimbangkan pemikiran anak, (Kohn 1991), c) orang tua yang memberi contoh empati dan perilaku kasih sayang (McDevitt, Lennon, & Kopriva 1991), serta d) orang tua yang membantu anak untuk mendiskusikan perasaan dan masalah-masalah positif yang dapat mengembangkan kemampuan empati (Clarke 1984). Meskipun terlihat sangat kecil, namun efek perilaku orang tua ini dapat mendorong perilaku positif seorang anak yang sedang bertumbuh.
Setelah bertahun-tahun meneliti para ilmuwan mendapatkan bahwa manfaat yang diperoleh dengan pengembangan empati seorang anak ialah sebagai berikut: (a) perilaku prososial (misalnya, berbagi, menolong, membuat situasi nyaman,) (b) memahami budaya dan suku orang lain dan penerimaan terhadap kebangsaan seseorang, (c) indikator perilaku lainnya ialah, tingginya presentasi kehadiran anak di sekolah, penemuan harga diri, pengungkapan diri positif dan kemampuan mengontrol diri dan agresi.