korupsi yang menyeret nama Harvey Moeis, seorang pengusaha sekaligus suami artis Sandra Dewi. Kasus ini bukan hanya skandal personal, melainkan refleksi dari persoalan laten dalam sistem hukum yang tak berkesudahan.
Indonesia kembali digemparkan dengan dakwaan tindak pidanaHarvey Moeis terbukti melakukan manipulasi dalam aktivitas tambang timah, termasuk perizinan ilegal, penggelapan pajak, dan pengaturan distribusi tambang, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, ia dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp1 miliar, dengan pertimbangan yang mencakup sikap sopan selama persidangan dan statusnya sebagai kepala keluarga.Â
Meski terbukti telah merugikan negara dalam skala besar, Harvey Moeis hanya dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor di bawah pengawasan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Putusan ini, selain mengecewakan masyarakat, juga menuai berbagai kritik tajam dari sejumlah pihak, termasuk mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Dalam pernyataan resmi beliau, Mahfud MD menegaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak hanya jauh dari rasa keadilan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang seharusnya ditegakkan. Â
Kasus Harvey Moeis bukanlah suatu hal yang baru terjadi bahkan, tindak pidana korupsi kerap kali dipersepsikan sebagai pelanggaran ringan yang mudah dilakukan oleh segelintir pihak. Perkara ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh di mana pelaku korupsi menerima sanksi yang tidak sebanding dengan kerugian besar yang ditimbulkan bagi negara maupun masyarakat. Realitas ini mengungkap bagaimana kelemahan dasar pada sistem hukum di Indonesia, yang tampaknya belum mampu menegakkan keadilan secara tegas serta memberikan efek jera yang memadai bagi pelaku kejahatan luar biasa semacam korupsi.
Apakah hukum di Indonesia sengaja dirancang untuk memberikan kelonggaran bagi pelaku tindak pidana korupsi? Pertanyaan ini terus mencuat di tengah masyarakat, mengingat disparitas hukum antara pelaku korupsi dan pelaku kejahatan lainnya. Bagaimana tidak, jika kita bandingkan hukuman seorang pencuri ayam di pelosok desa dapat dijatuhi hukuman bertahun-tahun, sedangkan pelaku korupsi yang merampas hak fundamental jutaan rakyat justru memperoleh vonis ringan dan seringkali disertai dengan kemudahan fasilitas selama menjalani masa penahanan.
Sebagai masyarakat, sudah sepatutnya kita tidak lagi hanya menjadi penonton pasif dalam drama hukum semacam ini. Kasus Harvey Moeis seharusnya mampu menjadi momentum bagi semua pihak untuk mendesak reformasi hukum yang lebih tegas dan adil. Dengan kerugian sebesar Rp300 miliar, potensi pembangunan yang hilang sangat besar, mulai dari pendidikan, infrastruktur, hingga kesehatan. Jika korupsi terus dibiarkan, bagaimana masa depan Indonesia?
Oleh karena itu sudah saatnya para penegak hukum dan pemangku kebijakan untuk melakukan introspeksi secara mendalam dan mengambil langkah tegas dalam memberantas korupsi. Hukuman yang setimpal dan penegakan hukum yang adil harus menjadi prioritas agar keadilan dapat ditegakkan. Sebab reformasi hukum yang berani dan tegas adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan integritas bangsa ini.Â
Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pelaku yang memiliki keluarga. Status keluarga tidak seharusnya dijadikan alasan untuk memberikan kelonggaran hukum kepada koruptor yang telah merampas hak rakyat secara nyata.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H