Mohon tunggu...
Selvi Diana Meilinda
Selvi Diana Meilinda Mohon Tunggu... Administrasi - Policy Analist

Suka dengan urusan kebijakan publik, politik, sosbud, dan dapur. Berkicau di @Malikahilmi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ziarah Romantisme

22 September 2012   06:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak pengkhianatan itu, urusan CINTA sudah saya kubur dalam-dalam. Tak lagi saya bahas dan kenang. Yaa.. Romance dead-end! Begitu kataku. Singkatnya, saya memang sudah lupa rasanya jatuh cinta. Saya juga sudah tidak tau rasanya sebuah perhatian berbasis asmara. Namun kini kuburan itu seolah hendak digali atas nama cinta dan perhatian. Maaf, bukan saya tak menghargai, tapi perhatian itu sama sekali belum ada rasanya bagi saya yang tengah lacking in any consensual romance.

Untuk masalah cinta sejati hati saya ekslusif dan tidak oppressive, saya tidak akan meladeni hati yang sudah tertawan, karena saya tahu sakitnya terjajah. Pun halnya kekaguman dengan seseorang dan berujung pada harapan hanyalah temporal. Ketika rasa itu mulai saya cecap, hati ini mulai terbuka untuk keabadian. Terkadang peluang saya buka selebar-lebarnya dan menyakinkan bahwa perhatian anda bukanlah gambling asmara. Namun sayang, anda yang mencoba kurang cerdas menginisiasi. Sehingga terkadang saya harus mengeksekusi.

Ada yang benar-benar pergi setelah dieksekusi, ada yang defensif, dan ada yang ofensif. Untuk orang yang benar-benar pergi, saya bersyukur karena anda memang bukan pejuang sejati, strategi anda hanyalah rezim rasa yang berkuasa hanya sesaat. Untuk yang defensif, kalian seperti burung onta, puas dengan strategi pertama yang hanya terhenti dengan hipotesis dan menunggu alur strategi yang simplifikatif. Sementara untuk orang yang ofensif, terkadang saya takut kehilangan anda, karena secara tidak langsung andalah trigger batiniah saya.

Sebagai pemilik hati yang berdaulat, serangan demi serangan saya coba hadapi dengan bijak. Sebelum mengambil keputusan, masak-masak saya pikirkan untuk menemukan critical factors, bukan hanya karakteristik penyerang namun kesadaran kondisi internal saya. Tidak banyak yang saya pertimbangkan, karena pertimbangan itu bukan pendekatan positivistik, saya mendekatinya dengan intuistik. Sedikit namun berbobot. Saya mulai luluh ketika sisi agama anda baik menurut saya. Bukan layaknya seorang ustadz, namun ketika optimistis, tidak riya’ dan mengesampingkan buruk sangka terhadap sesama secara alamiah menyerang hati saya, sungguh.. saya ingin selamanya bersama anda.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun