Mohon tunggu...
Selvi Diana Meilinda
Selvi Diana Meilinda Mohon Tunggu... Administrasi - Policy Analist

Suka dengan urusan kebijakan publik, politik, sosbud, dan dapur. Berkicau di @Malikahilmi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Ada Perempuan dan Laki-laki Yang Generik

28 September 2011   04:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:33 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_133722" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi: mari.bicara.com"][/caption]

Kuliah pengarusutamaan gender pagi ini cukup menyenangkan bersama Dr. Dewi Haryani Susilastuti seorang dosen yang gandrung terhadap isu-isu gender selain Prof. Muhadjir Darwin. Mengapa menyenangkan? Karena pertama, saya tak telat masuk 7.30, padahal saya kira telat, karena 7 menit sebelum jadwal saya baru berangkat. Untung dekat, sepanjang fak.kehutanan dan fak.Teknologi hasil pertanian saya berlari kencang. Kedua karena materinya sensitif terhadap pekerjaanku 2 tahun lalu. lho, kok jadi curcol...  :D

Setelah pertemuan kemarin tentang gender mainstreaming, kali ini lebih asyik lagi tentang gender dan pembangunan. Hoho… kenapa pula gender berhubungan dengan pembangunan? Alhamdulillah yah, pembangunan sensitive gender, sesuatu’ banget (hehe).

Gender dilekatkan dengan pembangunan pasti karena ada sesuatunya, ada indikator penyebabnya bahwa pertama, perempuan dan laki-laki tidak menikmati hasil pembangunan yang sama. Saya mencontohkan hal kecil, ketika terlibat dalam program pembangunan infrastruktur perdesaan yang kerjasama dengan ADB, rencana kerja masyarakat itu berbeda antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki itu lebih cendrung gandrung dengan pembangunan jalan raya, paving, jembatan. Terkesan laki-laki itu suka berkeliaran dengan mobilitas tinggi (kemungkinan). Sementara perempuan sering kali ingin pembangunan air bersih, MCK, titian sungai. Yah.. yang memudahkan akses pekerjaan domestik rumah tangga. Perbedaan usulan pembangunan itu berdampak pula pada perbedaan hasil pembangunan bukan?

Kedua, perempuan lebih miskin (dalam hal kepemilikan asset dan akses), lebih banyak yang buta huruf, lebih banyak korban kekerasan dan lebih sedikit yang berpendidikan tinggi walaupun kami tidak membahas kalkulasi angkanya. Lalu apa hubungannya dengan pembangunan? tentu saja berhubungan, ketika pemerintah merencanakan pembangunan, harus disadari bahwa tidak ada perempuan yang generik ataupun laki-laki yang generik.

Generik di sini maksudnya semacam pil generik dari puskesmas itu lho.. apapun sakitnya, ya itulah obatnya. Jadi, apapun jenis kelaminnya, ya begitulah sifatnya. Laki-laki itu lebih pada maskulinitas sementara perempuan feminim dan laki-laki lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari perempuan, itu menurut teori generik dari diskusi kami. Padahal sesungguhnya tidak, ada konstruksi sosial yang melekat pada laki-laki atau perempuan. Seorang laki-laki difabel tentu memiliki akses dan produktivitas yang lebih kecil dibanding seorang Prof. Perempuan misalnya, dan tidak semua perempuan disamakan watak, prilaku, perasaannya dengan sang Profesor tersebut. Kembali ke persoalan bahwa tidak ada laki-laki dan perempuan yang generik, artinya memang indikator pembangunan perlu menyadari bahwa laki-laki dan perempuan secara personal tidak sama kebutuhannya, sifatnya dan keadaannya.

Ketiga, permasalahan ketidaksetaraan gender di Indonesia belum pernah dijawab dengan langkah-langkah konkrit. Di dunia politik, ketika 30% kuota perempuan di parlemen menjadi suatu kewajiban, lalu apa? Efektifkah kebijakan itu? Kompetenkah perempuan-perempuan diparlemen itu menyuarakan aspirasi dan kebutuhan perempuan? Saya rasa tidak. Mereka hanya sekedar memenuhi kuota. Ketika kaum perempuan yang menjadi moniritas pada suatu komunitas tertentu, tentu saja mereka mengikuti langgam dari laki-laki.

Sebagai akhir catatan kali ini, saya ingin mengungkapkan bahwa permasalahan gender di Indonesia masih menngalami tantangan budaya. Kata-kata sepele yang sering kita ucapakan misalnya, “ih… kok cowok nangis sih, kayak perempuan aja!” atau “cepetan dong, klemar klemer kayak perempuan”. Nah, kata “kayak perempuan” seolah merendahkan kaum perempuan, seakan-akan menangis/ cengeng itu jelek dan hanya milik perempuan, dan seolah semua perempuan itu klemar klemer. Sekali lagi, tidak ada perempuan atau laki-laki yang generik, kawan!

Salam Generik. Hehe…

--Menunggu jeda tes AcEPT di Wifi area, pascasarjana Fisipol Ugm (28/9/11)--

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun