Sesungguhnya pekerjaan yang paling demokratis ialah pekerjaan wartawan. Khalayak pembaca sebagai konstituennya melakukan pilihan setiap hari, bukan lima tahun sekali
(Menlu Singapura 1970-an)
Secara tidak sengaja saya menemukan buku pidato Jakob Oetama saat menyusuri koleksi buku pribadi Bapak Prof. Sofian Effendi (mantan rektor UGM) di perpustakaan MAP. Pidato yang berjudul Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna itu disampaikan saat penganugerahan gelar doctor honoris causa dalam bidang komunikasi dari UGM pada 17April 2003 silam.
Setelah membaca pidato 21 halaman tersebut, saya terhenyak, ternyata media memang sudah berubah. Janganlah lagi kita heran mengapa the bad news is good news karena selain dihadapkan pada persaingan pasar, media juga menghadapi tantangan the search of meaning dan the production of meaning, yang berarti bahwa tidak lagi berlaku suatu jurnalisme yang obyektif, melainkan yang berlaku adalah jurnalisme yang subjektif, atau obyektivitas yang subyektif menurut Prof. De Volder seorang ahli etika media dari Universitas Leuven, Belgia.
Subjektif media bukan perkara suka atau tidak suka, bukan pula berprasangka, atas kepentingan pribadi atau partisan, namun subjektif dalam arti secara serius, jujur, benar, professional mencoba mencari tahu secara lengkap mengapa peristiwa itu terjadi dan apa maknanya.
Menurut Jakob Oetama, surat kabar juga telah lama meninggalkan pandangan yang menyatakan bahwa opini itu bebas, tetapi fakta itu suci (C.P Scott dai The Manchester Guardian, 1921). Reportase faktual yang memisahkan fakta dan opini berkembang sebagai reportase interpretasi, reportase yang mendalam, yang investigative dan reportase yang komperehensif.
Artinya bukan sekedar fakta secara linear, atau mengurutkan fakta sesuai urutan kejadiannya, tetapi fakta yang mencakup semuanya. Disertai latar belakang proses dan riwayatnya, dicari interaksi tali temalinya, diberi interpretasi atas dasar interaksi fakta dan latar belakangnya, ditemukan variabel-variabelnya. Sehingga berita bukan sekedar informasi tentang fakta namun menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari suatu peristiwa.
Selanjutnya, ternyata masyarakat tidak hanya ingin tahu makna, tetapi juga kemana arah dan semangat penyelesaiannya, sehingga di sinilah peran media berwacana.
Namun sayang sekali, seamatan saya media saat ini belum bisa berwacana dalam arti yang serius disertai usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami persoalan serta bertujuan memperkuat wacana demokrasi. Justru kebanyakan media kita saat ini seperti yang digambarkan oleh Pak Jakob Oetama, seperti negara Amerika Latin kala dulu, para komentator dan kaum intelektual umumnya begitu banyak berbicara dan berwacana, sehingga kolumnis terkenal melukiskannya dengan istilah Todologi, atau kemampuan untuk bicara tentang hal apapun tanpa sikap tahu diri dan tanpa pengetahuan (Carlos Alberto Montano) dan celakanya membentuk cosmosvivion Amerika Latin yakni pandangan hidup yang sekedar dan terbatas pada omongan melulu. Bilakah Indonesia sekarang seperti ini?
Dengan demikian, pers, media dan wartawan yang kini bekerja dalam bingkai demokrasi janganlah memberi celah agar wacana merosot menjadi todologi, asal ngomong dan hanya ngomong!
Terakhir, tersirat dalam pidato bahwa Jakob Oetama sesungguhnya menginginkan sosok wartawan yang Apolonisian, yakni pribadi yang berpikir dan merasa, yang rasional tetapi juga sensitive, yang peduli terhadap fakta maupun perasaan, yang berdedikasi terhadap dunia obyektif “di luar sana” dan terhadap dunia subyektif “di dalam sini”.
Nampaknya, sosok semacam itu juga menarik untuk “wartawan-wartawan” kompasiana alias kompasianer. Are you dare enough? Hehee…
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H