Mohon tunggu...
Selvi Diana Meilinda
Selvi Diana Meilinda Mohon Tunggu... Administrasi - Policy Analist

Suka dengan urusan kebijakan publik, politik, sosbud, dan dapur. Berkicau di @Malikahilmi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jatuh Cinta dengan H. Mahbub Djunaidi

8 Oktober 2012   12:55 Diperbarui: 11 September 2017   09:55 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah siapa orang ini sebenarnya, asal-usulnya, keluarganya, entah bagaimana rupa wujudnya, entah masih hidup atau sudah almarhum. Pertemuan kami berawal dari kejenuhan saya di perpustakaan FISIPOL UGM, sabtu (6/10). Saya yang tengah mabuk dengan buku dan jurnal Monev Kebijakan publik tiba-tiba ingin merefresh otak dengan membaca buku di luar genre itu. Sampailah tangan saya meraih buku kuning yang saya kira kitab kuning dari salah satu pesantren kenamaan. Usang sekali, entah seperti apa bentuk aslinya, cover aslinya sudah diganti dengan hard cover. Sudah lazim di sini, kalau buku sudah rusak maka di kokohkan dengan hard cover. Saya tarik dengan telunjuk dan ibu jari, sulit sekali karena sudah lama berhimpitan tanpa dijamah orang. Saya pun tiba-tiba bersin, menandakan bahwa kerajaan debu di buku itu terusik.

Saya sudah baca dari punggung buku, judulnya Humor Jurnalistik. Saya memang berharap, menemukan gelak tawa dalam buku itu. Sepintas lalu, dalam kesunyian perpustakaan saya baca dengan gaya foto kopi sampai berkesimpulan bahwa buku itu menarik. Walau entah siapa pengarangnya. Saya pun meminjamnya dengan petugas. Ketika dipindai, petugas yang biasanya sibuk memindai buku, mengecap, memindai kartu perpustakaan tiba-tiba melongo menatap saya tatkala hendak membubuhi tanggal pengembalian. Saya heran, ada apa gerangan? Saya pun melongok bagian buku yang hendak di cap itu, Masyaallah.. di tanggal peminjaman terakhir tertulis tahun 1996. Artinya sudah 16 tahun silam buku ini terpojok di rak tanpa ada yang meminjam. Penasaran dengan tahun terbit, saya cek di bagian depan, ternyata tahun 1985. Jika diibaratkan manusia, buku itu adalah kakak. Karena usianya beberapa tahun lebih tua dari saya. Sempat terpikir, buku setua ini apa humornya masih segar? Ah, peduli lutung!

Semalaman suntuk saya baca, semalaman suntuk saya terpingkal-pingkal. Luar biasa penulisnya ini, cerdas, pengetahuan luas, komunikatif dan segar, sepicingpun saya tidak mengantuk. Padahal itu tulisan kolomnya yang dimuat di Kompas, di Tempo, Merdeka, mulai dari tahun 70-an sampai 80-an. Ternyata humornya tidak kadaluarsa. Beliau seperti tengah mengenalkan saya pada dunia sebelum saya lahir, tentang rakyat kecil, tentang kemanusiaan, tentang interaksi para tokoh dengan masyarakat, tentang peristiwa sejarah, tentang lembaga pemerintahan, tentang politik, tentang anak-anak, Pemuda dan Mahasiswa, tentang pembangunan, tetang islam, dan tentang dinamika politik internasional. Yang semuanya segar di zamannya.

Penasaran siapa sebenarnya penulis ini, saya menghubungi Bang Adian, barangkali saja kenal. Darinya saya tau, bahwa H. Mahbub Djunaidi adalah kolumnis terkenal dan sudah almarhum, kolomnya segar dan Pak Djajat (Pemred Lampung post) yang fans benar dengan beliau. Oh.. saya seperti menyesal, seumur sekarang baru tahu ada tokoh pers Indonesia seperti ini, kenapa zaman saya di pers mahasiswa dulu tidak dikenalkan dengan pribadi beliau? Kenapa saya lebih kenal Bill Kovach dan tahu Art Buchwald? Apa salah senior saya yang tidak mengenalkan? Atau salah kakek saya duluyang tidak langganan kompas?

Dari perkenalan saya dengan beliau melalui bukunya tersebut, setidaknya saya bisa bisa memolakan gayanya menulis, jika diibaratkan tokoh silat, beliau ini adalah Wiro Sableng, dengan jurus unik dan lucu menotok pembaca untuk terus membaca, sedangkan cara investigasinya seperti Sherlock Homes, mudah sekali ketemu jalannya, seperti ketika beliau hendak membuktikan kebenaran surat Bung Karno tertanggal 30 agustus, 7, 21 dan 28 September 1933 tentang permohonan Bung Karno kepada Belanda supaya dia dibebaskan dari tahanan penjara, sebagai gantinya, Soekarno berjanji tidak lagi akan ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya. Beliau (Pak Mahbub) tidak perlu pergi ke negeri Belanda untuk membaca laporan pos rahasia 1933/1276 itu, namun beliau mengkonfimasikannya dengan menemui Ibu Inggit di Jalan Ciateul No. 8 Bandung pada 27/9/1980. Maka dibenak saya, Pak Mahbub seperti Wiro sableng dan Sherlock Homes digabungkan jadi satu, begitulah kira-kira.

Seperti hendak dibuat rileks dan membuka wawasan kita, ketika hendak menulis tentang ijazah palsu yang marak pada zaman itu, di bagian awal ia menceritakan keinginannya untuk jadi seorang sarjana, tentu dengan segala kelebihan sarjana kala itu, namun keinginan itu surut tatkala ia membenturkan keinginannya dengan esai tua Cina tertanggal 21 Juli 1933 dari Lu Hsun yang berjudul Surplus Knowledge, bahwa ilmu pengetahuan di tahun 1933 telah membuat banyak orang menganggur duduk bersila di ambang pintu rumah mertua masing-masing. Begitulah Pak Mahbub mengurai zaman, saya jadi terseret ke masa yang memberi pencerahan bahwa jauh sebelum saat ini masalah ijazah palsu itu sudah ada, masalah ONH sudah ada, masalah perampasan tanah veteran sudah ada, masalah jual beli roh di Jakarta sudah ada, dan masalah tingkah ulah para Jenderal itu juga sudah ada. Dunia ini hanya berpola!

Begitulah nasib tulisan, begitulah nasib buku dan begitulah penulis, ia akan tetap bercerita dan meninggalkan jejak walaupun telah tiada. Salam takzim untuk Almarhum Pak H. Mahbub Djunaidi, semoga tulisannya tetap jadi amal jariyah dan salamku untuk keluarga besarnya, ingin rasanya mengenal dan membaca tulisan beliau selain buku Humor Jurnalistik ini.

Yogyakarta, 8 Oktober 2012

Sebagai tambahan, saya tuliskan sedikit kolomnya di Kompas tertanggal 20 Maret 1981 yang berkepala “Kencing Palembang, Bukan Sembarang Kencing”.

…………

Jembatan Ampera bagian tengah yang beratnya 980 ton dan merupakan titik sentral arti penting jembatan itu sudah tidak bisa dinaikturunkan. Dia sudah terbujur kaku kebingungan, tak tahu berbuat apa, mulai tahun 19774. Akibatnya para konsultan pun datang tahun 1978, bahkan sampai tulisan ini dibuat pun tetap dalam keadaan pingsan.

Apa sebabnya? Wah, sebabnya panjang-lebar. Laporan Pasific consultants International yang disusun dalam bahasa inggris – namanya saja konsultan – dan tebalnya lebih dari 125 halaman itu, dipersembahkan kepada sang pemesan yang namnya Bina Marga. Barang siapa yang mengidap penyakit jantung dianjurkan agar tidak usah ikut-ikutan membaca laporan itu, karena keselamatan jiwanya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan mereka yang menderita sakit maag pun, sakit kantong nasi, dinasihatkan agar jangan terlalu dekat-dekat, khawatir pencernaannya bisa terganggu.

Pokoknya, isi laporan itu menggemparkan. Bukan saja bagian tengah tubuh jembatan tidak bisa lagi dinaikturunkan, bahkan bsa ambrukbagai batang pisang ditebas pangkalnya. Yang namanya karat sudah menjalari berbagai bagian tubuh jembatan. Kedua menara yang megah menjulang, dengan masing-masing memangku bandulan seberat 465 ton, kawat-kawatnya juga berkarat. Padahal setiap orang tahu, karat itu bagaikan “subversi” di dunia besi baja, yang apabila tidak ekas-lekas diamankan, bisa membikin segala yang berdiri tegak jadi terjungkal.

Itu saja? Masih ada lagi. Transformatornya yang sebesar 50 KVA sering terbakar. Bahkan sejak tahun 1965, berbarengan dengan menganganya bagian tengah tubuh jembatan, terdengar suara yang encurigakan di kamar mesin. Belum lagi tidak dinkronnya naik turun tubuh jembatan yang terletak di bagian Palembang dengan yang terletak di bagian Plaju, seperti dua orang yang tidak mau berakuran.

Laporan Pacific Consutants International yang panjang serta lebar itu, jika diperas akan membikin kita gemetar. Kalau segalanya ini dibiarkan sebagaimana adanya, terserah nasib, baut-baut dan segala rupa besi baja yang beraneka macam fungsinya itu dipersilakan jadi mangsa karat, maka… kedua bandulan yang beratnya masing-masing 465 ton itu akan jatuh berdebam di atas jembatan karena talinya putus, dan sang jembatan pun akan berhamburan asuk ke sungai bergandengan tangan dengan kedua menara yang menjulang tinggi.

Jika hal ini terjadi – mudah-mudahan jangan- saya berani bertaruh bahwa semua orang Palembang, baik yang tengah jaga maupun yang sedang mendengkur memeluk guling, baik yang sedang berdiri, sedang duduk maupun yang sedang berjongkok di atas kaskusnya masing-masing, serta merta akan terangkat sejauh lima sentimeter dari tempatnya lantaran kaget. Sesudah itu mereka akan terkesima dan terbengong-bengong, dan begitu siuman begitu mengusulkan supaya lambing resmi kotamadya Palembang lekas-lekas diganti saja, berhubung gambar jembatan Ampera yang tertera di sana sudah menyelam ke dasar sungai.

Memang soal ‘kecil’, tapi tidak ada salahnya diperhatikan bagian kalimat laporan Pasific Consultants International, yang berbunyi sebagai berikut, “the reason why this part has been extremely corroded as compared with other parts of steel structure, is considered to be due to urine released from the land to this part for years. Unless immediately repaired, the counterweight may fall thus causing the tower to break down”.

Jadi, jelas kini, salah satu sebab berkaratnya segala baut dan besi baja Jembatan Ampera itu, diduga berasal dari….kencing orang Palembang yang mengalir ke tempat itu selama bertahun-tahun!

………………………………….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun