[caption id="attachment_185718" align="aligncenter" width="300" caption="remaja-remaja sedang menari selendang "][/caption]
Kemarin malam (3/6), saya beruntung dapat menyaksikan pentas tari di sebuah kampung yang mayoritas orang Lampung. Walaupun sudah jarang, namun di acara seperti ini membangkitkan rindu. Adapun tari-tari yang dipentaskan adalah tari-tari daerah Lampung seperti tari bedana, tari selendang, tari piring, tari payung dan tari kreasi lainnya. Pesertanya adalah anak-anak dan remaja-remaja kampung sekitar itu saja.
Di kampung yang mayoritas bersuku Lampung, pentas tari tradisional bukanlah hiburan mewah apalagi dianggap unik, karena rata-rata orang kampung pandai menari.
[caption id="attachment_185729" align="aligncenter" width="300" caption="gerakan jembatan di langit dalam tari selendang"]
[caption id="attachment_185725" align="aligncenter" width="300" caption="Tari bedana kreasi"]
Semasa kami kecil (karena saya juga orang Lampung), menari adalah aktivitas pokok di malam hari. Kami biasa berangkat ke sanggar selepas mengaji setelah magrib di salah satu rumah guru ngaji. di sanggar pasti sudah ramai, semua anak-anak, ABG, bujang gadis kampung ada di sana. Wah… pokoknya kalau tak ikut belajar menari pasti dibilang tidak gaul, tak dikenal masyarakat.
[caption id="attachment_185722" align="alignright" width="300" caption="seorang gadis Lampung sedang menari piring 12"]
Tidak hanya itu, bagi gadis Lampung belajar menari, mengaji, bernyanyi, berpantun, itu sangat penting. Karena kata orang-orang tua, jika nanti dibawa bertamu atau mengantar pengantin ke kampung orang biasanya diminta tuan rumah untuk menyanyi, menari dan berpantun (dalam acara bujang gadis), jadi kalau tidak bisa, alamaak! Malu luar biasa, bukan malu secara pribadi, tapi malu atas nama kampung.
“masa, mulli di pekon hinno mak pandai nakhi, mak mingan ngebalos pattun, mak mingan moneh adi-adi” (masa, gadis di kampung itu tak bisa menari, tak mampu membalas pantun, tak pula pandai bernyanyi).
Hmm… malu sekali kalau omongan macam ini sudah keluar, turun sudah pasaran sang gadis dimata bujang-bujang. Jadi, tolak ukur berkualitas atau tidaknya seorang gadis lampung dulu itu ada pada keahlian-keahlian tersebut. wahh… gawat sekali yah. Haha..
Kembali ke sanggar, kami dibagi perkelompok, 1 kelompok biasanya 6 orang. Dan jumlah kelompok dalam sanggar kami waktu itu adalah 17 kelompok lebih. Sementara pelatihnya hanya 3 orang, sudah tua-tua. Namun tidaklah sulit mengajarkan, karena saat kelompok lain mentas ke pemain rebana, maka kelompok yang lain memperhatikan dan belajar sendiri, ketika waktunya tampil di hadapan pelatih maka tak sulit lagi untuk membenarkan gerakan.
Kami yang waktu itu masih anak-anak, selalu kebagian tampil di awal, agar setelahnya bisa pulang karena esok pagi harus sekolah. Sampai akhirnya karena tiap malam belajar, semua tarian kami kuasai. Untuk merayakan ini, diadakanlah acara ‘butammat nakhi’. Kampung kami jadi ramai dan tersohor, karena mulai dari anak-anak sampai dewasa pandai menari.
Sehingga jika ada hajatan kami selalu diundang untuk menari, ya pakaiannya bebas dan tidak dibayar. Kami hanya diberi sepiring bubur atau nasi uduk saja sudah senang. Tidak cuma dihajatan kampung, kami juga selalu sukses menyabet juara dalam tiap perlombaan tari bahkan diundang mentas ke TMII. Senang? Tentu saja senang, namanya ABG (waktu itu). hehee…
Nah, bagiku sanggar di kampung-kampung memang sangat potensial untuk menjaga dan melestarikan budaya daerah, agar anak-anak tidak hanya histeris dengan gerakan-gerakan boyband dan girlband.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H