Mohon tunggu...
Selvi Diana Meilinda
Selvi Diana Meilinda Mohon Tunggu... Administrasi - Policy Analist

Suka dengan urusan kebijakan publik, politik, sosbud, dan dapur. Berkicau di @Malikahilmi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Seputar Malam Pitu Likur

27 Agustus 2011   16:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_128125" align="aligncenter" width="550" caption="foto: ochan-journalist.blogspot.com"][/caption]

Biasanya, mulai malam ke 27 ramadhan rumah-rumah kami terang benderang oleh cahaya obor dan lampu minyak. Ya, ini yang kami sebut malam pitu likur. Malam pitu likur adalah suatu tradisi masyarakat Lampung (terutama Lampung Barat) dan melayu pada umumnya untuk menyambut kehadiran keluarga-keluarga kami yang telah meninggal dunia. Konon, dulunya kami percaya menjelang idul fitri mereka akan turun dari langit untuk menjenguki kami di dalam rumah. Oleh karena itu, kami menerangi jalan mereka dengan menyalakan obor atau lampu minyak di depan rumah biar mereka tak salah alamat. Kebiasaan ini akan terus dilakukan sampai tiba idul fitri nanti.

Selain obor, bisa juga sabut kelapa atau batok kelapa yang kami susun sampai tinggi, lalu kami bakar agar cahayanya lebih terang, agar arwah-arwah yang akan berkunjung nanti benar-benar merasa kami sambut dengan hangat.

Kalaupun mereka benar-benar datang, kami tidak merasa takut. Justru kami senang mereka bisa menyempatkan diri mengunjungi kami, jika bisa saling melihat kami malah ingin bercerita dan menanyakan kabar mereka. Tapi, ini sih benar-benar mitos karena selama ini belum ada satupun yang melihat dengan jelas kehadiran mereka.

Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi tersebut mulai jarang dilakukan terutama daerah yang sudah agak kota. Walaupun ada yang melakukan, paling-paling karena kebiasaan saja, mungkin merasa ada yang kurang kalau tidak melakukannya. Hal ini disebabkan karena banyak yang meluruskan bahwa tradisi ini termasuk syirik, tidak sesuai dengan ketentuan syara’. Selain itu, masyarakat sudah dimanjai dan diterangi dengan listrik, jadi kalau leluhur mau datang, tak perlu lagi repot-repot bakar ini itu, cukup nyalakan saja lampu depan rumah, sekampung akan menjadi terang benderang.

Tapi yach… namanya tradisi menjelang lebaran, menurut kami tak masalah untuk terus dilakukan selama kami tidak mempercayai kebenaran hakikat itu semua, kami tidak ingin berbuat syirik, kami hanya sekedar menerangi kampung tanpa listrik, hitung-hitung hemat energi dan hemat tagihan listrik. Menjadi terobosan baru dalam budaya hemat listrik bukan? Kedua, anggap saja ini bagian dari usaha pelestarian budaya, sehingga budaya kita tidak kering dalam modernitas yang berlebihan. Ketiga, kami bisa menyalakannya saat menunggu shalat tarawih tiba atau selepas solat magrib, karena selepas isya dan tarawih lebih baik kami memperbanyak ibadah di 10 hari menjelang idul fitri ini untuk berburu malam seribu bulan.

Selamat Menyambut Lebaran Kompasianer semuanya... hehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun