[caption caption="me and my backpack"][/caption]Setelah hampir sebulan lalu melakukan perjalanan ke kota yang selalu membuat saya rindu, akhirnya tulisan ini mulai di buat. Perjalanan saya kali ini berbeda, tak ada kawan yang bergabung dan hanya sepasang kaki yang melangkah. Keputusan melakukan perjalanan seorang diri juga bukan tanpa alasan, walaupun sebenarnya keputusan di ambil tanpa pemikiran yang cukup matang.Â
Tapi kalau tidak seperti itu, kalau masih sering merasa takut melakukan ‘perjalanan’ bukankah itu malah akan menghambat semua keinginan dan hasrat diri untuk menjelajah? Rencana yang masih mentah membuat langkah pertama saya sedikit berbeda, saya hanya melakukan pembelian tiket kembali a.k.a Yogyakarta – Jakarta sekitar 2 bulan sebelum perjalanan. Sedangkan tiket pergi baru di beli 2 minggu sebelum perjalanan.
Dengan backpack merah nan kece berkapasitas 40 Liter, saya memulai kembali petualangan saya yang lainnya. ‘Kesenangan’ saya saat menuju bandara ‘terganggu’  oleh diantarnya saya ke bandara dengan menggunakan mobil pribadi. Aaahhhhhh, memang bermaksud baik supaya perjalanan bisa di awali dengan nyaman.Â
Tapi menurut saya ada kesenangan lain saat bisa melakukan perjalanan dengan bentuk yang berbeda, menggunakan kendaraan umum atau apapun itu selain mobil pribadi. Sekedar informasi, saya menikmati bepergian ala koper juga ransel. Jenis kedua perjalanan itu memang berbeda, namun tak bisa dibandingkan, kesenangan yang masing-masing tercipta memberikan kenikmatan tersendiri.
[caption caption="saat tiba di Adi Sucipto dan langsung menuju lokasi acara"]
Ngayogjazz; pagelaran musik tahunan bernuansa Jazz yang banyak mengumpulkan musisi-musisi Jazz nasional maupun lokal, serta di ramaikan pula oleh komunitas jazz berbagai daerah. Dari bandara internasional Adi Sucipto, saya menggunakan transportasi umum Trans Jogja menuju meeting point. Dari  meeting point penyelenggara acara menyediakan Shuttle Bus untuk menuju lokasi acara yang berada di kawasan Desa Wisata Brayut Pandowoharjo, Sleman. Bukan perkara gampang juga dengan backpack yang cukup berat, saya melangkah di setiap sudut kota Jogja untuk menuju tempat tujuan.
Aaahhh, akhirnya duduk manis di shuttle bus bertemu seorang kawan yang juga melakukan perjalanan sendirian guna menikmati Ngayogjazz. Saya sampai tak ingat berapa lama perjalanan yang saya tempuh menuju lokasi dan tiba jam berapa saya di lokasi. Bersama Nia – sang kawan baru, kami menyusuri setiap sudut Desa Wisata Brayut dan memutuskan untuk menikmati makan malam yang dijual di setiap rumah penduduk tempat itu. Nilai keekonomian Desa Wisata Brayut, yang menjadi tempat penyelenggaraan Ngayogjazz mendadak menjadi ‘tinggi’.Â
Masyarakat sekitar diberdayakan, hampir setiap rumah tangga di kawasan itu menyediakan tempat dan menyajikan makanan kepada pengunjung. Suasana lokal terasa, menikmati masakan penduduk lokal kami duduk di hamparan halaman rumah mereka dengan menggunakan tikar atau alas duduk lainnya. Meski tertusuk dinginnya angin (jelang) malam kala itu, suasana tetap terasa hangat Keramahan penduduk lokal tercampur dengan riuhnya pendatang atau pengunjung, semakin menambah lengkap acara saya di Jogja.
[caption caption="Ngayogjazz di Desa Wisata Brayut"]
Berbekal peta acara, Desa Wisata Brayut kembali kami kami ‘sesaki’, setiap sudutnya tak boleh lepas dari keinginan kaki-kami kami untuk melangkah. Tak banyak lagi yang bisa kami nikmati setelah itu, YK Samarinda yang menyajikan musik apik di panggung utama membuat saya ‘bergoyang’ larut di dalam malam yang semakin gelap. Gagal menyaksikan Dewa Budjana tak lantas membuat saya kecewa, toh masih banyak penampil lainnya yang menarik dan salah satunya adalah Syaharani dan Queenfireworks.
Malam terlalu malam dan sudah semakin larut, dengan bintang di langit kota Jogja yang masih bisa terlihat dengan jelas, saya memutuskan tidak sampai selesai menikmati acara Ngayogjazz. Alasannya sederhana, saya menumpang kendaraan umum – shuttle bus, yang jam operasinya dibatasi. Selain itu karena menumpang tanpa di pungut biaya, apabila menunggu acara selesai maka akan menumpuk lah semua ‘fakir’ gratisan itu.Â