Mohon tunggu...
Selvi Anggrainy
Selvi Anggrainy Mohon Tunggu... Produser -

#IAMUNITED | a Writer who loves to Read and Watch | journalist as in passion| in love with Photography and Travelling | Chocoholic | Coffee and Tea Addict | Food Lover | great Thinker :) http://selvianggrainy.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Khotbah Masjid Vs Gubernur Kafir, di Bulan Ramadhan

11 Juni 2016   19:00 Diperbarui: 11 Juni 2016   19:16 3321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari ketinggian sekitar 10 meter, malam itu (Jumat 11/06) saya yang sedang berada di lantai 3 rumah, seperti biasa bisa mendengar dengan jelas suara pengkhotbah di Masjid yang hanya berjarak selemparan kolor (*duh kolor siapa di bawa-bawa). Sekitar pukul 20.20, sambil membereskan cucian lantaran asisten rumah tangga yang sudah tidak masuk beberapa minggu terakhir, saya pun mendengar kembali ceramah sang pengkhotbah. Kalau melihat jamnya, seperti sedang berlangsung sholat tarawih.

Tidak pernah memperhatikan dengan jelas apa isi khotbah di masjid, entah kenapa malam itu berbeda. Saya mendengarkan dengan jelas. Tapi kok ternyata mengganggu, lantaran menurut pendapat pribadi saya khotbah yang disampaikan seperti menebar kebencian. Saat itu sang penceramah berbicara tentang kekafiran Gubernur “kita” – dia dan jemaatnya di Masjid saat itu (yang notabene adalah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama). Kita telaah dulu arti kata kafir, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kafir itu berarti “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”.

“Tidak seharusnya orang kafir itu memimpin kita, dan tidak seharusnya pemimpin itu kafir”, ujar sang penceramah dengan suaran lantang dan terdengar seantero kampung lantaran toa yang dipasang di luar masjid. Duuuhhh, saya kok jadi lebih mendekatkan diri ke arah sumber suara. Lebih lanjut mendengar, ternyata dengan suara bulatnya dan semakin berapi-api, sang penceramah kembali menyebut si kafir tidak pantas memimpin kita. Entah sudah berapa lama si kafir menjadi bahan utama ceramah malam itu, dan terus berlanjut. Sampai akhirnya ditutup dengan, “tidak ada pendukungnya kan di sini?” tawa renyah audience seperti terdengar sayup-sayup.

Mungkin sang penceramah lupa, kalau dia sebenarnya masih tinggal di kawasan Jakarta. Dia yang terhormat untuk memberikan pencerahan terhadap jemaat masjid, dan keluarhanya, saya yakin menikmati berbagai fasilitas dan sarana maupun prasarana yang dibangun gubernur kafir. Saya sih masih mencoba berpikir positif, kalau sang penceramah juga menikmati layanan BPJS. Aduuuh, jangan-jangan dia hilang ingatan ya kalau kawasan tempat tinggal kami sekarang, sejak beberapa waktu belakangan tampil ciamik. Sudah mulai tertata rapi, tanpa banyak sampah berserakan di sepanjang jalan maupun sudut kampung, berkat pasukan orange. Pasukan orange yang digaji  setara UMR (sekitar 3100k) oleh sang gubernur kafir. Atau dulu waktu pasukan orange masih digaji hanya 300 ribu rupiah setiap bulannya, sang penceramah sedang melanglang buana ke luar kota jakarta. Menjalani trip nan penuh petualangan bersama rekan-rekannya.

Pertanyaan lain kembali timbul di kepala yang yak lagi tenang ini, terlintas namun tak mendapatkan jawaban dengan segera. Pernah gak ya sang penceramah atau sanak saudaranya naik Transjakarta. Memang layanannya belum bagus dan sempurna. Tapi layanan umum Transjakarta itu cukup mendapat perhatian dari Gubernur Kafir. Bahkan Transjakarta sudah mempunyai layanan Amari (angkutan malam hari), yang ditujukan untuk mereka yang membutuhkan transportasi malam hari dengan cukup nyaman dan aman (*setidaknya demikian). Duuuh, gak komplit rasanya jadi penduduk Jakarta, tapi belum pernah nyobaik layanan Transjakarta. Kemana aja sih pak? Seingat saya juga, Gubernur yang disebut kafir itu menyelesaikan pembangunan Masjid di balaikota, dan memberangkatkan sejumlah orang ke tanah suci untuk beribadah. Mungkin dia memang tidak tahu sih. Berarti memang seharusnya diberitahu segera.

Duuuh, di tahun 2016 seperti sekarang ini tempat-tempat ibadah bukankah seharusnya mengajak setiap umatnya untuk saling menjaga persatuan. Seketika itu juga saya hilang respect terhadap masjid yang selalu ramai saat subuh ataupun magrib. Bukankah hal seperti itu malah menimbulkan fanatisme berlebihan terhadap agama sekelompok orang (*dan ini bisa terjadi untuk pemeluk kepercayaan atau agama lainnya). Mungkinkah ini bentuk #overdosisagama ,terlalu sibuk menyudutkan seseorang kafir, sehingga kita lupa bahwa masih banyak persoalan lain yang perlu diurus. Terlalu sibuk menambah dosis keagamaan, namun lupa bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama. Sekedar informasi saya seorang yang lahir dan dibesarkan secara Katolik, banyak rekan-rekan saya yang beragama Islam, kami berhubungan baik sebagai teman atau bahkan beberapa sudah seperti keluarga sendiri. Saya tidak anti terhadap hal-hal berbau agama lain selain agama saya, bahkan rutin sejak beberapa tahun lalu, saya mengikuti sejumlah kegiatan di bulan suci Ramadhan.

Tapi menurut saya, bentuk penyebaran kebencian dari sang pemimpin kepada pengikutnya, bukankah itu merupakan sesuatu yang sangat amat berbahaya? Bisa menjadi bentuk doktrinisasi tanpa arah. Lalu saya teringat, obrolan saya dengan salah satu orang kepercayaan Gusdur, saat beliau menjabat sebagai presiden. Seperti yang pernah disampaikan kita ini dalam keadaan darurat, dimana banyak kelompok-kelompok yang bertindak seenaknya. “bisa terjadi disintegrasi bangsa mba”, ucapan beliau yang masih saya ingat sampai sekarang, kalau masing-masing dari kita tidak bisa saling menghargai. “Wong kita bukan negara islam kok”, ditegaskan kembali. Saya cukup yakin, narasumber saya beragama Islam, terlihat dari namanya serta caranya mengucapkan “Allah”.

Masih pantaskah isu SARA dikedepankan, padahal di satu sisi semua berharap ada kehidupan yang lebih maju dari saat ini. Lalu apakah saya, dia, atau kalian juga masih mau ikut-ikutan #overdosisagama ? Beneran deh, saya bukan fans Gubernur. Cuma beberapa kali wawancara, duduk manis di kantornya, makan bareng, itu pun dulu waktu masih rajin nongkrong di balai kota lantara tugas. akhir kata, kalau bahasa kerennya anak kaskus Cmiiw (correct me if im wrong).

-Selvi Anggrainy, yang dulunya wartawan Sindotrijaya FM Jakarta, yang sempat bertugas di balaikota, saat Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur dan Ahok sebagai wakil Gubernur. Sekarang masih menggeluti dunia media. Beneran bukan fans si pemimpin kafir, cuma mencoba berpikir rasional.

Bogor, 11 Juni 2016 di sebuah restoran khas Sunda.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun