[caption caption="Ilustrasi Kartu Kredit"][/caption]Masalah pajak yang rumit gak pernah habis, pemerintah dari sana-sini berusaha meningkatkan penerimaan pajak. Aturan pajak ini – itu bermunculan satu persatu, semakin banyak dipelajari dan dimengerti semakin gak ngerti sebenarnya saya ini. Dipelajari bukan berarti sama mau pinter sama urusan pajak, cuma biar gak “buta” aja. “Emang ci, target penerimaan pajak kita kurang banget, jadilah semua sektor dipajakkin”, ujar teman saya yang bekerja di departemen keuangan saat obrolan tentang pajak rumah kost marak beberapa waktu lalu.
Aturan pajak terkait rumah kost cuma salah satunya, belum lagi terkait penurunan PPh badan, mekanisme pungutan PPn yang berubah dan mulai merambah barang mentah, data nasabah bank bisa dibuka untuk kepentingan pajak, keharusan sejumlah jejaring sosial populer untuk jadi badan usaha tetap sehingga bisa dipajakkin, tax amnesty, sampai pajak karbon yang katanya juga untuk kepentingan lingkungan. Lagi-lagi semua demi kepentingan “penggenjotan” penerimaan pajak. Cmiiw (correct me if I’m wrong)!!! Baru sekedar rencana memang, dan entah mana yang sudah terlaksana atau jadi terealisasi.
Lalu apalagi yang terbaru? (*terbaru selain Panama Papers yang mulai muncul ya, lantaran wawancara dengan sejumlah narsum terkait, terjadi sebelum Panama Papers menyeruak) adalah Ditjen Pajak yang ingin menganalisa data transaksi kartu kredit setiap nasabah, guna kepentingan perpajakan. Lagi-lagi semua demi kepentingan perpajakan dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Ooh iya, dibilang baru tidak juga, melainkan baru rasa lama.
Pengawasan transaksi kartu kredit ini sebelumnya sudah bisa didapatkan oleh Ditjen Pajak, namun tidak bersifat masif yang berarti hanya untuk sejumlah kepentingan atau kebutuhan tertentu. Nah kalau sekarang bersifat masif dan ada kewajiban rutin. Singkat kata melalui kementrian keuangan, pemerintah mewajibkan perbankan atau penerbit kartu kredit memberi laporan rutin, setiap data transaksi kartu kredit.
Kalau ditanya gunanya apa? Sebagai instrumen pembanding antara pengeluaran wahai-wahai kamu pengguna kartu kredit, dengan pajak yang selama ini dibayarkan. Hayooo, ngomong-ngomong pajak udah pada ngisi SPT tahunan belum? Saya sih sudah, sejak bulan februari lalu, jadi gak perlu ribut-ribut server kantor pajak down atau antrian yang semakin mengular di kantor pajak, kalau memang melakukan pelaporan pajak secara manual. Nah pelaksanaan ini didukung oleh peraturan pemerintah, dan mengutip narasumber saya Ajib Hamdani – Ketua HIPMI Tax Center, hal itu memang dibolehkan dan tertuang dalam undang-undang perpajakan. Sementara itu aturan pengaksesan data yang saya sebutkan sebelumnya, tertuang dalam aturan turunannya.
So, kita sebagai warga negara atau masyarakat remah rempeyek ini bisa apa menghadapi pemerintah yang lagi-lagi mengeluarkan aturan itu? aaahh periksa saja data kartu kredit atau transaksi yang saya lakukan, sang pengawas pajak yang kebetulan menganalisa transaksi saya pasti heran, isinya cuma belanja online makanan atau barang-barang yang sebenernya gak perlu dibeli online (baca: beli di warung juga ada). Saya akan mulai gak santai kalau rencana pemerintah lainnya, dalam rangka menggenjot penerimaan negara, yakni pengenaan PPn 10% terhadap setiap transaksi online yang dilakukan. Tidaaaaaakkkkkkk……belanja online bakal semakin mahal.
Kerumitan terkait aturan ini belum berhenti, masih banyak yang belum bisa “diawasi” oleh pemerintah. “Kalau berbicara masalah kebijakan, tentang bagaimana kemampuan dirjen pajak bisa memilah data yang ada, karena pengalaman kantor pajak itu pake kacamata kuda”, dijelaskan lebih lanjut oleh Ajib Hamdani saat perbincangan penggunaan kartu kredit untuk konsumsi atau modal berlanjut.
Nah, lagi-lagi nah, penggunaan kartu kredit untuk konsumsi atau modal itu juga perlu dibedakan, dan proses pengawasan oleh pemerintah dinilai masih minim. So, aturan yang lagi-lagi dibuat bisa ‘memicu’ konflik. Bagaimana saya nanti ya bapak-bapak dirjen pajak, yang sering dimintai tolong buat belanja online sama rekan-rekan. Hhmmmm, bukan modal bukan konsumsi, tapi titipan, perlu kategori lebih banyak mungkin.
Hal senada terkait pengunaan kartu kredit untuk tujuan konsumsi atau modal juga menjadi concern dari pengusaha. Seperti yang diungkapkan oleh Susanto - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern (AP3MI),”memang kita tidak bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah, bisa apa kita, tapi kan kalau disuruh bayar cash pengusaha mungkin banyak yang gak mampu, mereka bisa cicil pakai kartu kredit, jadi produktif”. Lalu saya berpikir tentang fasilitas cicilan nol persen handphone saya (yang diganti karena smartphone sebelumnya dicopet, hiks), coba kalau harus minjem ke bank kan repot, atau minjem ke orang lain, belum tentu dikasih tapi dicemooh terlebih dahulu, hahaha.
Anyway, penggunaan kartu kredit bisa memudahkan, sama seperti halnya pengusaha restoran kelas yang perlu beli kulkas, jual-beli elektronik, online shop dalam negeri yang belanja ke luar negeri terus dijual lagi, dsb, dst, dll, dengan fasilitas cicilan nol persen. Atau sekalian aja saya ‘pajakin’ ya temen-temen yang suka nitip belanjaan. Intinya kartu kredit bisa dijadikan sebagai modal bukan melulu konsumsi.
Ini mempengaruhi sektor riil, yang akan semakin terpukul nantinya, setengah mati di jalanan, dan semua keluhan pengusaha lainnya yang diungkapkan Susanto dengan lugas. “Pemerintah jangan ganggu sektor riil”, ditambahkan Susanto yang dalam gambaran saya orangnya nyentrik abis (based on the voice sih).