Mohon tunggu...
Selvi Andini
Selvi Andini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa_Ilmu Pemerintahan_Universitas Islam 45 Bekasi

Believe in the competence we have.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Permendikbud Ristek No. 30: Multitafsir Frasa "Tanpa Persetujuan Korban"

7 Desember 2021   18:50 Diperbarui: 7 Desember 2021   18:57 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, terbentuknya dan Ditetapkannya Peraturan ini dilatar belakangi dengan krisis kekerasan seksual salah satunya diperguruan tinggi dan bertujuan untuk percepatan penghapusan, pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, dimana kampus merupakan salah satu tempat yang rentan terjadinya pelecehan seksual,

Tentu dalam sebuah kebijakan terdapat pro dan kontra, peraturan ini menjadi polemic dan menjadi perdebatan yang sengit antara pihak pro dan kontra. Pasalnya semua pihak mendukung sebuah kebijakan yang mengatur penghapusan kekerasan seksual dan memberikan pemihakan kepada korban serta pentingnya peraturan ini untuk melindungi korban dan menciptakan kondisi aman belajar di kampus dengan penghapusan pelecehan kekerasan seksual. Namun menjadi kontroversi karena terdapat pasal yang menganggap bahwa permendigbud ini berpotensi melegalkan zina dan beberapa kalangan yang tidak sepakat meminta untuk dilakukan revisi terhadap peraturan tersebut.

Pada Permendikbud No.30 terdapat pasal yang menjadi kontroversi yaitu pada pasal 5 terutama pada ayat (2). Pada pasal ini sebagian masyarakat melakukan penolakan dan pelawanan karena dianggap berpotensi melegalkan perzinahan dilingkungan kampus, karena pada pasal 5 memuat frasa " Tanpa persetujuan korban". Frasa tersebut menjadi multi tafsir di sebagian kalangan masyarakat.

Frasa tersebut dianggap dapat melegalkan zina karena jika kegiatan asusila tersebut dilakukan tanpa persetujuan korban dianggap tindak kekerasan seksual, maka bila kegiatan tindak asusila tersebut korban menyetujui atau tanpa perlawanan dianggap bukan tindak kekerasan seksual dan bisa melegalkan tindak asusila tersebut.

Dan ini juga yang menjadi asumsi sebagian kalangan masyarakat dengan persetujuan korban bahwa tindak asusila tersebut diperbolehkan/dilegalkan di lingkup kampus.

Seperti yang dikatakan Fahd Pahdepie dalam siaran televisi di KompasTv bahwa dapat dikatakan menjadi sebuah kekerasakan apabila tanpa persetujuan korban, jadi jika ada persetujuan korban maka ini tidak lagi dikategorikan sebagai kekerasan seksual, jika tidak menjadi kekerasan seksual maka diangap benar secara substantif, tindakan asusila tersebut tetap ada.

Padahal dibuatnya peraturan ini memiliki niat yang sangat baik dimana Mas Menteri Nadiem bermaksud menangani sebuah persoalan yang tidak main-main mengenai kekerasan yang terjadi. Pelecehan seksual dinilai kemedikbud memberikan efek sangat besar dan berjangka panjang meski kasusnya kerap sulit dibuktikan.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan kategori kasus kekerasan di perguruan tinggi paling besar diantara jenjang pendidikan yang lain yaitu sebesar 27% dan dianggat situasi yang menghawatirkan bahkan Mas Menteri Nadiem menyebut ini sebagai pandemi. Beliau juga mengatakan kita memiliki beberapa undang-undang yang mengatur kekerasan seksual namun ada kekosongan peraturan yang menjadi payung hukum terhadap pelecehan seksual pada kategori 18 tahun belum/tidak menikah maka kampus masuk dalam kategori tersebut.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani memiliki persepsi yang sama yang mengatakan bahwa kekerasan seks pada perempuan dikampus umpama seperti fenomena gunung es dimana yang nampak hanya sedikit tetapi dibawah yang tak terlihat sangat banyak. Menteri agama mendukung kebijakan tersebut dengan akan menerbitkan surat edaran sekjen Kemenag untuk mendukung kebijakan permendigbud PPKS bagi perguruan tinggi keagaaman negeri di seluruh Indonesia. Dukungan juga dilayangkan dari berbagai pihak mulai dari para kementerian, Aliansi BEM dan pihak lainnya.

Perdebatan dari pihak pendukung dan pihak kontra harus segera dilerai dengan tindakan-tindakan seperti merevisi permendikbud tersebut jika memungkinkan dengan mengganti/tidak menyantumkan kata-kata yang bisa berpotensi memiliki makna ambigu agar tidak lagi terjadinya perdebatan dan multi tafsir pada masyarakat serta mensosialisasikan peraturan dengan baik agar masyarakat memahami peraturan tersebut tidak terjadi multi tafsir kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun