Mohon tunggu...
Selvia Anggraini
Selvia Anggraini Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keterlibatan Perusahaan Industri Jasa Keuangan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

8 Juni 2024   23:48 Diperbarui: 9 Juni 2024   01:12 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penyedia jasa keuangan dan profesi sebagai pelapor merupakan penopang utama, ujung tombak dimulainya kegiatan pencegahan dan pemberantasan TPPU. Sektor jasa keuangan terbagi menjadi beberapa sektor, yakni Perbankan, Pasar Modal, dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB). Oleh karena itu maka penyusunan Sectoral Risk Assessment (SRA) sektor jasa keuangan pun perlu membuat setidaknya 3 (tiga) SRA, yakni SRA di sektor Perbankan, SRA disektor Pasar Modal, dan SRA di sektor industri keuangan non-bank (IKNB). Proses SRA mencakup identifikasi, penilaian serta pemahaman terhadap risiko TPPU menjadi point penting dalam penanggulangan TPPU baik terkait dengan ancaman, kerentanan dan dampak dari aspek hukum terhadap TPPU yang tipologinya semakin berkembang dan semakin kompleks sejalan dengan kemajuan teknologi di sektor jasa keuangan.

Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan masalah yang sulit untuk dibuktikan, pencucian uang sering dilakukan dengan memanfaatkan jasa atau fasilitas yang diberikan perbankan. Perbankan adalah lembaga keuangan yang berperan sangat vital dalam aktivitas perdagangan internasional serta pembangunan nasional. Sebagai perusahaan penyedia jasa bank, aktivitas sangat sarat dengan penggunaan teknologi. Penggunaan teknologi inilah yang menjadikan metode TPPU semakin berkembang pesat. Berdasarkan data statistik PPATK diketahui bahwa sarana perbankan menjadi wadah favorit untuk dijadikan tempat pencucian uang dibandingkan dengan Penyedia Jasa Keuangan lainnya di Indonesia. Dikarenakan perbankan lebih mudah untuk menyimpan uang hasil kejahatan.

Kejahatan di Bidang Perbankan dikenal sebagai kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime), yang dapat dikelompokan atas:

  • Kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku jasa profesi dalam melakukan pekerjaannya, seperti advokat, akuntan, dan dokter saat mereka bekerja.
  • Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak warga negara.

Identifikasi White Collar Crime menurut Muladi adalah penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan, dan kesembronoan si korban, kurang keahlian, kurang pengetahuan, keteledoran korban, penyembunyian pelanggaran.

Faktor-faktor yang mendorong dari si pelaku adalah karena yakin sering terjadi kekurang hati-hatian pada pelaksanaan administrasi bank. Dari kondisi perbankan bank sering menutupi bila tindak kejahatan untuk menjaga kepercayaan masyarakat

Tipologi Kejahatan Perbankan antara lain berupa Penipuan/ kecurangan kredit (credit fraud), penggelapan dana publik (embezzlement of public fraud), penyelewengan/ penyalahgunaan dana publik, pelanggaran peraturan keuangan (violaton of currency regultions), dan pencucian uang (money laundering).

Mengingat bahwa Lembaga keuangan bank dan non bank merupakan tempat yang rentan dijadikan sebagai sarana TPPU, maka di antara empat puluh rekomendasi FATF, salah satunya berfokus pada lembaga keuangan dan badan-badan otoritas yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan. Di antara rekomendasi ini adalah:

  • Bank dan lembaga keuangan nonbank diminta untuk tidak membuka rekening tanpa nama atau yang anonym (anonymous accounts). atau rekening yang jelas menggunakan nama fiktif. Larangan ini harus diatur dalam undang-undang.
  • Lembaga keuangan diharapkan mengupayakan informasi tentang kebenaran identitas orang yang melakukan transaksi atau membuka rekening atas namanya.
  • Lembaga keuangan harus menyimpan catatan tentang transaksi yang dilakukan dengan nasabah, baik dalam negeri maupun internasional, selama setidaknya lima tahun.
  • Setiap negara, termasuk lembaga keuangan, diminta untuk memperhatikan potensi ancaman pencucian uang karena perkembangan teknologi yang memungkinkan pencucian uang.
  • Setiap negara diminta untuk memperhatikan semua transaksi yang tidak biasa dan transaksi dalam jumlah besar.
  • Meminta agar lembaga keuangan segera melaporkan kepada otoritas yang berwenang apabila mencurigai bahwa dana yang disetor nasabah berasal dari kegiatan kejahatan.
  • Lembaga keuangan, anggota direksi, pejabat, dan staf tidak diizinkan untuk memberi tahu nasabah bahwa informasi pribadi nasabah sedang dilaporkan kepada otoritas yang berwenang.
  • Lembaga keuangan diminta untuk menyusun program untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.

Penggunaan penyedia jasa keuangan dan profesi sebagai sarana pencucian uang dengan menggunkan metode dan teknologi yang semakin canggih hruas diikuti dengan perubahan regulasi. Surat Edaran OJK Nomor 6/SEOJK.05/2021 tentang Pedoman Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menyebutkan bahwa layanan fintech sangat rentan digunakan sebagai sarana pencucian uang, pendanaan terorisme dan pendanaan senjata pemusnah massal. Semakin komplek produk layanan, serta meningkatnya pengguna teknologi informasi di industri jasa keuangan, mengakibatkan semakin tinggi risiko fintech digunakan sebagai sarana pencucian uang.

Selain itu, OJK telah membentuk cluster fintech yang berbeda dari peer-to-peer lending dan equity crowd funding. cluster fintech tersebut disusun sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam POJK Nomor 13/POJK 0.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital disektor Jasa keuangan sebagai berikut

Begitu pesatnya perkembangan metode, teknis, skema, dan instrumen dalam Pencucian Uang yang mengakibatkan terjadinya perubahan regulasi yang begitu cepat. Penyedia jasa keuangan dan profesi sebagai garda terdepan dalam program APU TPPU PPT harus selalu mengikuti regulasi yang berkembang cepat yang telah ditetapkan oleh Lembaga Pengatur dan Pengawas. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) berperan penting menentukan efektifitas dan keberhasilan rezim APU PPT yaitu:

  • LJK yang beriteraksi secara langsung dengan nasabah.
  • LJK menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ).
  • Melakukan monitoring terhadap transaksi keuangan yang dilakukan oleh nasabah.
  • LJK menjalankan kewajiban pelaporan LTKM, LKTK, LTKL kepada financial intelligence Unit (FIU) (PPATK).

Keseluruhan rangkaian kegiatan sektor jasa keuangan penting dalam rangka penerapan mengenali pengguna jasa (PMPJ). Penerapan PMPJ yang efektif berkaitan erat dengan hasil atau output berupa kewajiban pelaporan kepada PPATK yang berguna dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan PPT.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun